Kamis 18 Oct 2018 15:53 WIB

Polmark: Majelis Taklim Jaringan Sosial Terpenting Pilpres

Meski majlis taklim terpenting, Eep sebut kampanye di masjid tak efektif.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Ratna Puspita
CEO dan Founder Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah
Foto: Darmawan / Republika
CEO dan Founder Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- CEO dan Founder Polmark Indonesia Eep Saefulloh Fatah memprediksi kekuatan majelis taklim akan sangat diperhitungkan dalam Pilpres 2019. Prediksi ini berdasarkan kesimpulan analisa terhadap hasil lima survei pada tiga penyelenggaraan Pilkada Serentak.

Eep mengatakan analisa menunjukkan majelis taklim atau pengajian menjadi jaringan sosial terpenting untuk pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Ia menarangkan analisa lima hasil survei Pilkada Serentak pada tahun 2015, 2017 dan 2018 diarahkan pada jaringan sosial apa yang dianggap paling penting bagi pemilih. 

Analisa dilakukan terhadap jawaban responden dalam survei mengenai keterlibatan mereka dalam organisasi, paguyuban, atau jaringan sosial yang sudah ada. Dari sekian banyak organisasi, terdapat tiga jaringan sosial terpenting dengan anggota dan simpatisan terbesar, yaitu majelis taklim, Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah. 

“Majelis taklim jadi yang tertinggi dengan 34,5 persen, menyusul kedua itu NU (29,2 persen), dan Muhammadiyah (6,6 persen)," katanya dalam paparannya kepada hadapan wartawan di Jakarta, Kamis (18/10).

Eep mengklasifikasikan majelis taklim dalam kategori sendiri, terlepas dari NU dan Muhammadiyah. Sebab, pengajian atau majelis taklim dianggap sebagai kekuatan tersendiri yang lepas dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia itu.

"Mereka semua tidak satu kategori. Taklim itu jaringan bisa tumpang tindih, orang NU tidak mungkin orang Muhammadiyah. Tapi orang NU dan Muhammadiyah boleh jadi orang taklim," kata dia.

Hasil analisa juga merinci jaringan sosial terpenting di tingkat wilayah. Misalnya, di Pulau Jawa, majelis taklim jadi kekuatan jaringan sosial terpenting (43,3 persen), NU (36,4 persen), dan Muhammadiyah (6,8). 

Kondisi serupa ditemukan di Pulau Sumatra. Di wilayah ini, majelis taklim juga menduduki peringkat tertinggi (33 persen), NU (19,5), dan Muhammadiyah (6,2).

Kendati majlis taklim penting, ia mengingatkan untuk tidak melakukan kampanye di masjid karena tidak efektif. "Sebagian yang datang ke Masjid tidak terima kampanye partisan. Umumnya taklim enggak di masjid," kata dia.

Lima survei Pilkada Serentak diadakan dalam lima kali waktu pada Mei-Juni 2013, 1-31 Januari 2013, 1-15 Juni 2014, 9-20 September 2017 dan 13-25 November 2017. Metode pengambilan sampelnya ialah multistage random sampling dengan total jumlah responden mencapai 96.930 orang.

"Laporan ini kemudian memfokuskan diri pada jaringan sosial terpenting yang di dalamnya para pemilih melibatkan diri sebagai simpatisan dan anggota aktif," ujarnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement