REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berbeda pendapat menanggapi wacana dana saksi pemilu 2019 dibebankan kepada negara, melalui anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Beberapa fraksi partai politik (parpol) setuju dengan wacana ini, namun ada juga yang menolaknya.
Menanggapi hal itu, Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ledia Hanifa Amaliah mengatakan ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan. Terkait saksi di Tempat Pemungutan Suara (TPS) apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan ketentuan saksi partai berbeda dengan saksi untuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan saksi untuk pemilihan presiden (Pilpres).
"Jika ya, berarti per TPS diperlukan 18 orang minimal. Meskipun logikanya sih penyelenggara dan pengawas pemilu dibiayai negara. Tapi perlu pengkajian lebih dalam kondisi seperti apa yang memungkinkan negara membiayai saksi," ujar Ledia saat dihubungi melalui pesan singkat, Jumat (19/10).
Sementara mitranya di Pilpres 2019, Partai Amanat Nasional (PAN) lebih memilih jalan tengah, yakni menyerahkan kepada hasil kesepakatan lintas fraksi dan pemerintah. Persoalan dana saksi ini memang harus diselesaikan secara berkeadilan. Sehingga dengan demikian, semua peserta pemilu merasa tidak tertinggal atau ditinggalkan.
"Dana saksi itu memang besar. Tidak heran ada partai yang tidak bisa memenuhinya. Tentu tidak adil dengan partai besar yang memiliki logistik yang lebih banyak," kata politikus PAN, Saleh Partaonan Daulay.
Kemudian terkait dengan pendapat yang mengatakan bahwa dana kampanye mahal, menurut Saleh, itu sangat relatif. Sebab, konsekuensi memilih demokrasi sebagai sistem politik adalah pembiayaan yang sangat besar. "Dan itu tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara lain yang menerapkan sistem yang sama," ucapnya.