REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gubernur nonaktif Aceh, Irwandi Yusuf pasrah atas ditolaknya permohonan praperadilannya. "Ditolak ya? Ya sudah. Artinya enggak diterima. Biasa saja," kata Irwandi usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Rabu (24/10).
Meskipun praperadilannya ditolak, Irwandi mengaku akan tetap kooperatif menjalani proses hukumnya di KPK. Mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu menampik akan mengajukan lagi gugatan kedua terkait kasus dugaan suap dana otsus Aceh.
"Kita akan selalu kooperatif kok. Ditolak ya sudah. Masa saya ajukan kedua," tegasnya.
Hakim Tunggal Riadi Sunindio Florentinus menolak permohonan praperadilan yang diajuka Gubernur nonaktof Aceh Irwandi Yusuf. Diketahui, Irwandi mengajukan permohonan praperadilan terkait penetapan tersangka suap penggunaan Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) tahun anggaran 2018.
Dalam putusan Hakim Tunggal Riadi, penangkapan, penetapan tersangka, hingga penahanan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Irwandi sah menurut hukum.
"Mengadili, menolak permohonan pemohon (Irwandi Yusuf) untuk seluruhnya. Menyatakan permohonan pemohon praperadilan ditolak seluruhnya," kata Hakim Tunggal Riadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Rabu (24/10).
KPK sebelumnya menemukan indikasi bancakan yang dilakukan oleh Irwandi dan oknum pejabat di Aceh, baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota terhadap DOK Aceh tahun anggaran 2018. Lembaga antirasuah itu juga telah menahan Gubernur Aceh non aktif Irwandi Yusuf dan ajudannya Hendri Yuzal, Bupati Bener Meriah non aktif Ahmadi serta seorang pengusaha T Saiful Bahri.
Dari temuan awal, KPK menduga setiap anggaran untuk proyek yang dibiaya dari DOK Aceh dipotong 10 persen, 8 persen untuk pejabat di tingkat provinsi, dan 2 persen di tingkat kabupaten/kota.
Pada tahun ini, Aceh mendapat alokasi dana otsus sebesar Rp 8,03 triliun. Pemberian dana otsus ini tertuang dalam UU Nomor 15 Tahun 2017 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2018.
KPK menjerat Irwandi, Hendri dan Syaiful sebagai penerima suap dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.