REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedua pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno kerap mengeluarkan pernyataan yang menjadi perbincangan publik. Setidaknya dalam dua pekan terakhir keduanya seolah-olah publik disibukan mendebatkan beberapa istilah.
Pakar politik Universitas Padjajaran (Unpad), Idil Akbar, menyayangkan pernyataan-pernyataan yang dinilai kurang subtantif tersebut.
"Kita terlalu berkutat dalam debat istilah, dalam debat-debat yang tidak subtantif, tidak mengedepankan program dan sebagainya," kata Idil saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (11/11).
Ia memaklumi bahwa perdebatan tersebut merupakan bagian dari dinamika politik. Namun ia berharap segala perdebatan mengenai simbol dan istilah perlu dikurangi di kemudian hari.
"Bagi saya inilah dinamika politik, tapi paling tidak besok-besok ya harus dikurangi," ungkapnya.
Sebelumnya cawapres nomor urut 02 Sandiaga pernah melontarkan istilah tempe setipis atm dalam konferensi pers. Pernyataan tersebut keluar atas respons terhadap ibu-ibu di pasar yang terpaksa memperkecil ukuran tempe lantaran mahalnya harga kedelai.
Sementara itu capres Prabowo juga pernah mengungkapkan istilah 'tampang Boyolali' yang kemudian menjadi polemik lantaran dianggap merendakan masyarakat daerah tertentu. Meskipun pada akhirnya Prabowo meminta maaf.
Tidak hanya kubu oposisi, kubu petahana juga kerap melakukan hal yang sama. Publik sempat diramaikan dengan istilah 'sontoloyo' dan 'genderuwo'. Sementara itu cawapres KH Ma'ruf Amin baru-baru ini juga mengeluarkan pernyataan 'buta-budek' yang diarahkan kepada orang-orang yang kerap mengkritik kinerja Jokowi.