REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Upaya penyelesaian kasus kekerasan seksual yang dialami mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui internal kampus dinilai belum tuntas dan belum memenuhi keadilan bagi penyintas. Hal itu disampaikan Direktur Rifka Annisa, Suharti, usai mencuatnya kasus tersebut ke publik.
Suharti menjelaskan, persoalan kekerasan seksual yang terjadi di kampus selama ini memang menjadi persoalan yang sulit untuk diungkap dan diselesaikan. Hal ini, lanjutnya, didasari atas lemahnya kampus dalam memberi perlindungan dan pemenuhan rasa keadilan bagi penyintas.
Untuk itu, pihaknya akan terus melakukan pendampingan bagi penyintas. Pendampingan dilakukan secara psikologis hingga penyintas mendapatkan kembali hak-haknya.
"Tugas kami adalah mendampingi dia (penyintas) untuk pemulihan kondisi psikisnya," kata Suharti kepada Republika.co.id, Ahad (18/11).
Menurut Suharti, lemahnya sistem hukum terkait kekerasan seksual di lingkungan kampus, dapat berakibat tidak tercapainya perlindungan yang efektif bagi penyintas. Pun, hal itu membuat terabaikannya hak-hak penyintas.
Untuk itu, ia mendorong agar semua pihak ikut melakukan langkah-langkah konkrit dalam penyelesaian kasus ini. Salah satunya dengan mendorong untuk segera disahkannya Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual.
Ia pun mendorong pihak UGM untuk memiliki sistem pencegahan dan penanganan kekerasan seksual ini di lingkungan kampus. Hal ini dilakukan demi menjamin keamanan korban, memberi perlindungan, memenuhi hak-hak korban dan memenuhi keadilan korban itu sendiri.
"Dalam konteks upaya pencegahan dan penanganan kasus yang lebih luas, salah satu upaya yang dilakukan Rifka Annisa adalah melakukan program edukasi kekerasan seksual di kampus dan terus mendorong lahirnya mekanisme pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di kampus," kata Suharti.