Kamis 22 Nov 2018 00:19 WIB

Polemik Nontunai di SPBU Padang, BI Keluarkan Rekomendasi

BI mendorong konsumen menggunakan uang elektronik ketimbang kartu debit/kredit.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Satria K Yudha
Pengendara motor antre mengisi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis bensin di SPBU Lubukbuaya, Padang, Sumbar, Senin (17/11) malam.  (Antara/Iggoy el Fitra)
Pengendara motor antre mengisi bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis bensin di SPBU Lubukbuaya, Padang, Sumbar, Senin (17/11) malam. (Antara/Iggoy el Fitra)

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Kantor Perwakilan Bank Indonesia (BI) Sumatra Barat memanggil pemangku kepentingan terkait pelaksanaan transaksi nontunai di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Kota Padang.

Rapat koordinasi yang menghadirkan Ombudsman, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), pengusaha SPBU, dan Pemkot Padang ini mencoba mencari solusi atas polemik penggunaan transaksi nontunai di SPBU. Belakangan, isu ini menjadi buah bibir karena antrean panjang menjadi pemandangan sehari-hari di SPBU yang menerapkan transaksi nontunai.

"Sebetulnya ini program Pertamina. Kami mendukung terkait transaksi nontunainya. Namun dalam praktik di lapangan, Pertamina menjalankannya dengan prinsip bussiness to bussiness. Itu kami tak ikut campur," jelas Kepala BI Sumbar Endy Dwi Tjahjono usai memimpin rakor, Rabu (21/11). 

Endy memandang bahwa antrean yang panjang lebih disebabkan kebijakan Pertamina yang membatasi jam penjualan BBM jenis Premium. Penerapan transaksi nontunai juga diterapkan di jalur penjualan Premium. Padahal menurut Endy, BBM jenis Premium masih menjadi primadona masyarakat. Terlebih, kenaikan BBM nonsubsidi akan mendorong konsumen kembali melirik BBM penugasan yang pastinya lebih murah. 

"Antreannya lebih banyak karena isi bensin. Pembayaran kan dilakukan saat isi bensin. Selesai pembayaran, isi bensinnya belum selesai," kata Endy. 

BI merumuskan lima poin rekomendasi yang bisa diterapkan seluruh pemangku kepentingan, terutama Pertamina yang memilih tidak hadir saat konferensi pers. Rekomendasi pertama ditujukan untuk konsumen, proses pembayaran dan pengisian BBM lebih baik dilakukan secara bersamaan. Hal ini, menurut Endy, akan menghindari molornya waktu karena transaksi.

Rekomendasi kedua ditujukan untuk pemangku kepentingan sendiri. BI, perbankan, dan Pertamina akan menjajal integrasi mesin pengisian BBM dengan mesin tap uang elektronik (UE). Bentuk transaksi ini sudah lumrah diterapkan di Jakarta, seperti pembayaran tarif tol, parkir, atau transaksi di minimarket.

Rekomendasi ketiga, BI mendorong konsumen untuk menggunakan uang elektronik ketimbang kartu debit/kredit. Alasannya, uang elektronik tidak membutuhkan PIN sehingga lebih cepat.

Rekomendasi keempat, BI mendorong bank untuk membagikan uang elektronik secara gratis kepada masyarakat dan memperbanyak fasilitas top-up di area SPBU."Kelima, penambahan jalur nontunai dilakukan secara bertahap sesuai dengan perluasan kepemilikan kartu nontunai masyarakat," kata Endy. 

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI) Sumatera Barat, Dahnil Aswad menyebutkan program nontunai sebetulnya menjadi alternatif bagi masyarakat. Ia berharap tidak ada diskriminasi bagi penggunaan transaksi nontunai maupun tunai. Setiap SPBU, menurutnya, harus menyediakan kedua jenis transaksi tersebut. 

Plt Ombudsman RI Perwakilan Sumbar, Adel Wahidi, memandang bahwa kebijakan transaksi nontunai ini harus dibarengi sosialisasi yang masif. Masyarakat, menurutnya, seolah terkejut ketika kebijakan tersebut mulai diberlakukan di sejumlah SPBU di kota Padang. 

"Permasalahan kuota untuk subsidi tidak diketahui oleh masyarakat. Sehingga masyarakat masih banyak yang memilih antre membeli BBM subsidi ini. Kapan BBM jenis Premium ini habis dan kapan ada, kan kita tidak tahu. Makanya masyarakat rela memilih mengantre. Yang akhirnya menyebabkan kemacetan panjang," Adel. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement