REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap alasan PT Garuda Indonesia Tbk sering mengalami kerugian setiap tahunnya. Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan salah satu penyebab Garuda mengalami kerugian, yakni penggelembungan harga pembelian pesawat terbang.
Syarif memberikan contoh adanya dugaan mark up di Garuda saat pembelian mesin pesawat dari perusahaan asal Inggris, Rolls-Royce. "Ini contoh saja. Angkanya pura-pura," kata Syarif dalam diskusi di Gedung KPK Jakarta, Kamis (22/11).
"Angka satu pesawat Rolls-Royce itu misalnya Rp 100 ribu, biasanya kan kalo perusahaan yang baik kan tolong kurangi dong saya kan baru beli yang lain. Harusnya Garuda seperti itu. Tapi apa yang terjadi, yah kalau Rp 100 ribu saya tidak dapat apa-apa, lu naikin deh Rp 110 ribu. Tapi nanti Rp 10 ribu kirim lagi ke rekening saya. Jadi mereka selalu mark up. Makanya kita rugi terus," kata Syarif.
Menurut Syarif, perusahaan milik negara seharusnya memberikan keuntungan terhadap negara. Namun, perusahaan justru membeli barang tersebut dengan harga yang sengaja dimahalkan, kemudian kelebihan harganya itu masuk ke kantong pribadi.
"Itu contoh-contoh perusahaan, memakai perusahaan tapi dia bertingkah laku sebagai penjahat terorganisir," tutur Syarif.
Sejauh ini, KPK telah menetapkan dua orang tersangka dalam kasus dugaan suap pembelian pesawat dan mesin pesawat Airbus A330-300 milik PT Garuda Indonesia. Dua tersangka tersebut adalah mantan Dirut PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar dan Beneficial Owner Connaught International Soetikno Soedarjo.
Meski berstatus tersangka, KPK tak melakukan penahanan kepada keduanya.
Dalam kasus ini, Emirsyah diduga telah menerima suap dari perusahaan mesin Rolls Royce terkait pengadaan mesin A330-300. Suap tersebut diberikan Rolls Royce kepada Emirsyah dalam bentuk uang dan barang melalui perantara Soetikno Soedarjo.
Atas perbuatannya, Emirsyah Satar disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun ditambah dengan pidana denda paling sedikit Rp 200 hingga Rp 1 miliar.
Sementara Soetikno Soedarjo selaku pihak pemberi disangkakan melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal 5 ayat 1 huruf b atau pasal 13 No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta hingga Rp 250 juta.