REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan, banyak perusahaan di Indonesia menjalankan praktik bisnis secara dengan curang, yakni dengan jalan menipu yang masuk dalam tindak pidana korupsi. Salah satunya dalam kasus korupsi proyek kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang merugikan negara hingga Rp2,3 triliun.
Diketahui, korporasi yang telah ditetapkan sebagai tersangka korupsi maupun tindak pidana pencucian uang (TPPU) oleh KPK di antaranya PT Duta Graha Indah yang telah berubah nama menjadi PT Nusa Konstruksi Enjiniring, PT Nindya Karya (Persero), PT Tuah Sejati dan PT Tradha yang dijerat pidana TPPU. Penetapan korporasi sebagai tersangka korupsi ini berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi.
"Banyak sekali perusahaan yang menipu. Contoh ada (orang dari) BUMN yang sudah kita tetapkan tersangka," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di Gedung KPK Jakarta, Kamis (22/11).
Syarif mengatakan, dari temuan kasus korupsi yang ditangani KPK banyak yang terkait dengan kepentingan perusahaan atau korporasi. Ia pun mencontohkan kasus korupsi proyek KTP-elektronik yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Menurut Syarif, dari contoh kasus korupsi proyek KTP-el meskipun sudah menetapkan banyak tersangka namun masih belum bisa mengembalikan kerugian negara lantaran adanya perbuatan pengurus korporasi.
"Kalau hukum orangnya paling kejar uang pengganti, tapi sebagian sudah bagian korporasi, termasuk tindak pidana lain. Jadi saya pikir kita akan tetap (mengusut tanggung jawab korporasi)," ujarnya.
Syarif menerangkan suatu perusahaan atau korporasi bisa dijerat tersangka korupsi dengan melihat beberapa hal. Pertama apakah perusahaan itu pertama kali terlibat korupsi atau tidak. Kedua seberapa sering perusahaan itu melakukan korupsi atau suap. Ketiga apakah dampak dari korupsi perusahaan itu besar bagi lingkungan sekitar atau tidak.
"Yang terakhir tentunya apakah di perusahaan itu ada komitmen atasanan, ada peraturan internal yang melarang terjadinya penyuapan dan lain-lain," ucapnya.
Lebih lanjut Syarif mengatakan, penanganan kasus korupsi yang menjerat korporasi lebih rumit jika dibandingkan penanganan korupsi yang melibatkan perorangan. "Masyarakat perlu tahu pidana korporasi lebih njlimet. Tapi kami berharap agar tindak pidana korporasi agar bisa disegerakan diselesaikan bila sudah masuk pokok perkara," kata Syarif.
Penanganan kasus yang cepat, sambung Syarif, agar ada kepastian bagi para pemegang saham ataupun setiap orang yang memiliki kepentingan pada Korporasi yang terjerat pidana korupsi. Menurut Syarif, pimpinan KPK memiliki prinsip agar penyelesaian kasus korporasi cepat selesai meskipun belum ada aturan tertulis yang mengaturnya.
"Kami selalu berharap di bawah 1 tahun. Kalau bisa 6 bulan Alhamdulillah," ucapnya.
Ia pun menegaskan, adanya aturan menjerat korporasi bukanlah untuk merusak korporasi tersebut. KPK, kata Syarif, hanya ingin agar perusahaan yang berkembang di Indonesia bisa bersaing di kancah internasional.
Diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) telah diatur bahwa subjek hukum pelaku korupsi tidak hanya orang, tetapi juga badan hukum atau korporasi.UU Tipikor secara jelas menyebutkan korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi, baik itu merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.