REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Badan Pusat Statistik (BPS) masih kesulitan mengumpulkan data niaga daring atau e-commerce. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, data tersebut pun belum bisa dirilis tahun ini. Meski sudah bisa menggandeng 20 pelaku utama e-commerce, BPS menyebut masih membutuhkan masukan data tambahan.
"Saya belum bisa janji. Saya pernah bilang akhir tahun ini (dirilis). Tapi ternyata belum bisa jadi saya masih perlu waktu," kata Suhariyanto di Bogor, Jawa Barat pada Sabtu (24/11).
Suhariyanto mengatakan, upaya mendata perdagangan e-commerce adalah sebuah terobosan baru. Dia menyebut, negara lain pun masih menghadapi kesulitan dalam mempublikasikan data tersebut.
Meski begitu, dia meyakini data e-commerce akan lebih akurat dan bisa segera dipublikasikan jika pelaku usaha mau menyetorkan data ke BPS.
"Kita masih harus berupaya keras. Kita tunjukkan bahwa itu juga bermanfaat untuk mereka (pelaku e-commerce)," kata Suhariyanto.
Untuk diketahui, BPS akan merekam data e-commerce yang mencakup transaksi, omzet, penanaman modal asing dan dalam negeri, serta teknologi. BPS akan mengklasifikasikan e-commerce dalam beberapa kategori seperti marketplace, transportasi, logistik, dan pembayaran.
Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Sri Soelistyowati mengatakan, BPS baru bisa mendapatkan data dari 20 pelaku utama e-commerce meski sebelumnya terdapat komitmen dari sekitar ratusan perusahaan.
"Jadi, ketika itu semangatnya teman-teman e-commerce itu ingin mengetahui data terkait e-commerce namun tidak percaya satu sama lain, sehingga harus dititipkan ke lembaga yang independen yaitu BPS," kata Sri.
Dia menyebut, data e-commerce akan membantu pemerintah dalam penyusunan kebijakan. Salah satu isu penting yang dicermati, kata Sri, adalah terkait lonjakan impor barang konsumsi.
"Kita juga ingin tahu impor barang konsumsi dari e-commerce itu seberapa besar," kata dia.
Sri mengatakan, saat ini terus berusaha memberikan sosialisasi kepada pelaku usaha. BPS menjamin tidak memiliki kepentingan dan tidak akan membocorkan data yang diberikan.
"Karena kita punya undang-undang statistik dan tidak ada klausul demi kepentingan hukum bisa dibuka. Ini beda dengan perbankan, datanya bisa dibuka untuk kepentingan hukum," kata Sri.
Sri menyebut, data transaksi perdagangan e-commerce memiliki peran penting lantaran nilai transaksinya mencapai triliunan dalam setahun. Hal itu berdasarkan data dari 20 perusahaan yang sudah diterima BPS. Namun, Sri mengatakan, BPS masih membutuhkan tambahan data dari sekitar 10 hingga 20 perusahaan e-commerce lagi untuk menyempurnakan publikasi data tersebut.
"Kami belum bisa rilis karena angkanya belum stabil. Kami berusaha meneliti data tersebut dan terkait kejujuran data. Maka, kami mengumpulkan informasi yang lain juga," kata dia.
Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi E-commerce Indonesia (Indonesia E-commerce Association/Idea) Ignatius Untung mengatakan, respons pelaku usaha e-commerce masih beragam terkait dengan pengumpulan data yang sudah diinisiasi sejak tahun lalu tersebut.
"Ada yang sudah terbuka dan siap bekerja sama. Ada yang masih curiga bahwa datanya nanti dibocorkan ke berbagai pihak termasuk untuk urusan pajak," kata Untung ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (25/11).
Untung mengaku akan terus berupaya mengajak lebih banyak lagi pelaku e-commerce untuk mau menyetorkan datanya ke BPS. Hal ini lantaran BPS juga sudah menjamin kerahasiaan data tersebut.
"Pada intinya, kami siap membantu BPS dan mengajak pelaku lain untuk bekerja sama," kata Untung.