Rabu 05 Dec 2018 20:31 WIB

Wakil Ketua KPK: Ukuran Korupsi Bukan Kanker

KPK tak memungkiri perilaku korupsi di Indonesia masih tinggi.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Muhammad Hafil
Korupsi, ilustrasi
Korupsi, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menegaskan cara mengukur tingkat korupsi di sebuah negara, termasuk Indonesia bukan dengan memakai istilah penyakit kanker. Tolak ukur yang biasa digunakan banyak negara di dunia adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yang dikeluarkan Transparency International (TI) setiap tahunnya.

"Ukuran korupsi itu beda dengan ukuran penyakit kanker, stadium satu, dua, tiga, empat. Ukuran korupsi itu harus dilihat dari corruption perception index kita," ujar Syarif di Hotel Bidakara, Jakarta, Rabu (5/12).

Syarif tak memungkiri Indonesia masih termasuk negara dengan tingkat korupsi yang cukup tinggi. Namun, untuk tingkat ASEAN skor IPK Indonesia masih cukup tinggi.

"Memang betul kita masih negara korup. Tetapi kalo di Asean itu kita sudah melebihi Thailand, kita sudah melebihi Filipina, kita nomor tiga di ASEAN," tegasnya.

"Tetapi apakah itu stadium empat atau tiga lebih bagus kita pakai standar yang corruption perception index dibanding kita memakai standar yang enggak pernah dipakai untuk mengukur tingkat korupsi suatu negara," tambah dia.

Dalam rilis 2017, IPK Indonesia mendapat skor 37. Indonesia menempati urutan ke-96 dari 180 negara yang disurvei. Selain Indonesia, ada Brasil, Kolombia, Panama, Peru, Thailand, dan Zambia di peringkat dan nilai yang sama.

Sebelumnya, Prabowo Subianto menyebut Indonesia masuk darurat korupsi karena dari pejabat negara, kalangan anggota dewan, menteri dan hakim tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, isu utama di Indonesia saat ini adalah persoalan korupsi yang sudah menjalar ke semua lapisan pejabat sehingga harus segera di atasi.

"Isu utama di Indonesia sekarang adalah maraknya korupsi, yang menurut saya sudah seperti kanker stadium empat," ujar Prabowo.

Sementara sehari setelah pernyataan Prabowo tersebut KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) dan menetapkan lima orang tersangka yakni diduga sebagai penerima: Iswahyu Widodo, Hakim PN Jakarta SeIatan (Ketua Majelis Hakim);  Irwan, Hakim PN Jakarta Selatan; Muhammad Ramadhan Panitera Penggati PN Jakarta Timur. Dan diduga sebagai pemberi yakni Arif Fitrawan, Advokat; Martin P. Silitonga, Swasta yang saat ini sedang dalam penahanan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan atas dugaan pelanggaran pidana umum.

Dua hakim dan panitera tersebut diduga menerima suap sebesar ratusan ribu dolar Singapura dari Advokat Arif Fitrawan dan Martin P Silitonga. Diduga, pemberian suap itu terkait dengan penanganan perkara perdata di PN Jakarta Selatan dengan penggugat Isrulah Achmad dan tergugat Williem JV Dongen dan turut tergugat PT Asia Pacific Mining Resources. Gugatan perdata ini terkait pembatalan perjanjian akuisisi PT CLM (PT Citra Lampia Mandiri) oleh PT APMR di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Gugatan ini didaftarkan pada 26 Maret 2018.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement