REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron akan berbicara mengenai pengunjuk rasa 'rompi kuning' pada awal pekan depan. Demonstrasi 'rompi kuning' sedang bersiap melakukan unjuk rasa gelombang keempat pada Sabtu (8/12) pekan ini.
"Presiden akan berbicara pada awal pekan depan, saya pikir itu yang diinginkan rakyat Prancis, mereka ingin jawaban, presiden akan menyampaikan pesan kepada rakyat Prancis bahwa ia mendengarkan kemarahan mereka," kata Menteri Transportasi Prancis Elisabeth Borne, di Radio Sud, Jumat (/7/12).
Borne mengatakan solusi yang tepat untuk mengatasi kemarahan rakyat Prancis atas kenaikan harga bahan bakar ini sudah ditemukan. Sebelumnya, ketua Majelis Nasional Perancis Richard Ferrand, sekutu dekat Macron, mengatakan presiden Prancis tersebut akan berpidato di depan rakyatnya pekan depan.
Para pengunjuk rasa sudah menyebarkan undangan melalui media sosial kepada seluruh rakyat Prancis untuk melakukan unjuk rasa pekan keempat yang mereka sebut 'IV Act'. Perdana Menteri Prancis mengatakan sekitar 89 seribu kepolisian Prancis akan ditugaskan untuk menghentikan kerusuhan seperti yang terjadi pada pekan lalu.
Unjuk rasa 'rompi kuning' ini sudah dimulai pada bulan November lalu. Awalnya para pengunjuk rasa ingin menyampaikan kemarahan mereka tentang kenaikan harga bahan bakar yang diberlakukan Macron sebagai upaya pengurangan penggunaan bahan bakar fosil.
Tujuan unjuk rasa ini dengan cepat berubah menjadi kemarahan rakyat Prancis karena semakin mahalnya biaya hidup. Mereka juga meminta Macron turun dari kursi presiden. Unjuk rasa ini menjadi kerusuhan setelah pengunjuk rasa membakar mobil, menjarah toko dan melakukan berbagai tindakan vandalisme pada pekan lalu.
Tuntutan pengunjuk rasa sangat beragam, mulai dari menurunkan pajak, menaikkan umpah minumum, menurunkan harga bahan bakar sampai menaikkan tunjangan pensiun dan meminta Macron mengundurkan diri. Para ekonom khawatir unjuk rasa yang meluas dapat menggagalkan upaya pemulihan ekonomi Prancis yang sedang melemah.
"Krisis menghancurkan nilai ekonomi, menghancurkan daya saing dan mengancam pekerjaan," kata Menteri Tenaga Kerja Prancis Muriel Penicaud di radio bisnis BFM.