REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Feri Nugraha
Suatu ketika, Rasulullah yang mulia sedang duduk bersama sahabat Abu Bakar. Tiba-tiba muncul seseorang yang mencela Abu Bakar. Menyaksikan celaan orang tersebut, Rasulullah diam dan tersenyum. Namun, Abu Bakar merasa jengkel sehingga membuat ia pun balas mencela orang tersebut.
Rasulullah tampaknya tidak menyukai perbuatan sahabatnya itu. Beliau bangkit berdiri dan merengkuh pundak Abu Bakar seraya menampakkan raut wajah yang marah. Sontak saja Abu Bakar heran melihat roman Rasulullah yang berubah tersebut. "Ya Rasulullah, ketika orang itu mencelaku, engkau tetap duduk dan diam. Namun, ketika aku membantah celaannya, engkau tampak marah dan berdiri?" tanya Abu Bakar.
Kemudian, Rasulullah menjelaskan, "Ketika engkau diam tidak membalas, ada malaikat yang menyertaimu dan dialah yang membantah celaan orang itu. Namun, ketika engkau mulai membantahnya, malaikat itu pergi, dan yang datang adalah setan."
Mendengar penjelasan Rasulullah, Abu Bakar terdiam. Lalu, Rasulullah melanjutkan, "Hai Abu Bakar, ada tiga hal yang semuanya benar. Pertama, ketika seorang hamba dizalimi, kemudian ia memaafkannya karena Allah, niscaya Allah akan memuliakannya." "Kedua, ketika seorang hamba memberi sedekah dan menginginkan kebaikan, Allah akan menambah banyak hartanya. Ketiga, ketika seorang hamba meminta harta kepada manusia untuk memperbanyak hartanya, niscaya Allah tambahkan kepadanya kekurangan."
Apakah kita boleh marah ketika ada orang lain mencela kita? Boleh. Apakah kita boleh membalas celaannya? Sah saja. Namun, kita tinggal memilih: mau ditemani malaikat tersebab kita sabar dicela atau ditemani setan akibat membalas celaannya? Sebuah pilihan yang akan diperebutkan oleh dua kekuatan yang ada di dalam diri kita: nafsu dan iman.
Sesungguhnya jika iman yang berbicara, kita akan memilih lebih baik bersabar sebentar dari celaan orang yang mencela. Namun, ini yang repot, yaitu jika nafsu yang muncul, otomatis celaan itu akan dibalasnya dengan celaan yang lebih buruk. Celaan dibalas dengan celaan, hasilnya adalah keburukan yang tidak mendatangkan berkah Allah.
Ada orang tidak suka kepada kita, kemudian ia menyerang dengan mencela di depan orang banyak maka bersyukurlah kepada Allah. Allah telah memberikan kebaikan kepada kita dengan sebab celaan tersebut. Tidak enak memang mendengar celaan itu, tetapi itu adalah ujian seberapa kuat keimanan kita.
Kemudian, ada orang yang suka kepada kita maka syukur itu harus lebih banyak lagi karena Allah memberikan kebaikan kepada kita melalui rasa sukanya. Suka atau bencinya orang lain kepada kita semata-mata menjadi ujian tersendiri—selama kita tidak pernah melakukan perbuatan-perbuatan yang mengundang celaan itu datang.
Bahkan, seandainya mampu dan mau, kita malah harus tetap berbuat baik kepada si pencela serta berterima kasih karena secara tidak langsung dirinya sudah menghadiahkan kebaikannya untuk kita. Sebaliknya, keburukan dan dosa kita otomatis pindah kepada orang yang mencela kita. Bukankah itu keadilan Allah yang sesungguhnya? Wallahu A'lam.