Senin 17 Dec 2018 01:16 WIB

PBB Sepakat Terapkan Perjanjian Iklim Paris 2015

Rincian rumit pelaksaan perjanjian iklim Paris belum diselesaikan.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
 Perubahan Iklim
Foto: Reuters
Perubahan Iklim

REPUBLIKA.CO.ID, KATOWICE -- Negara-negara anggota PBB sepakat untuk menerapkan Perjanjian Paris 2015 dalam konferensi iklim 24th Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP24) di Katowice, Polandia, pada Sabtu (15/12). Meski demikian, masih ada masalah kontroversial lainnya yang tersisa untuk diselesaikan tahun depan.

Negara-negara itu mengeluhkan rincian rumit tentang bagaimana memperhitungkan dan mencatat emisi gas rumah kaca mereka, yang akan menjadi dasar dari peraturan untuk mewujudkan Perjanjian Paris. Sementara pertanyaan-pertanyaan sulit seperti bagaimana meningkatkan komitmen yang ada saat ini untuk mengurangi emisi dan bagaimana menyediakan pembiayaan bagi negara-negara miskin untuk melakukan hal yang sama, telah ditangguhkan untuk tahun-tahun mendatang.

Pada jam-jam terakhir konferensi, kesepakatan diwarnai oleh perdebatan mengenai kredit karbon, yang diberikan kepada negara-negara itu untuk melangsungkan upaya pengurangan emisi dan penyerapan karbon. Mereka membahas mengenai hutan yang menyerap karbon dioksida.

Brasil menginginkan sebuah amandemen yang akan menguntungkan negaranya karena hutan hujannya yang besar. Namun hal itu ditentang oleh negara lain karena dapat merusak integritas sistem.

Usulan mengenai amandemen ini akan dibahas kembali dalam konferensi tahunan tahun depan. Brasil, di bawah kepemimpinan presiden barunya, Jair Bolsonaro, juga membatalkan tawaran untuk menjadi tuan rumah konferensi iklim PBB tahun depan.

Brasil telah menjadi pendukung yang dapat diandalkan dalam konferensi iklim tahunan sebelumnya. Negara ini telah bekerja untuk menjembatani kesepakatan antara negara maju dan berkembang. Tanpa dukungan itu di masa depan, konferensi hanya akan berlangsung lebih kacau.

Ketika masalah kredit karbon Brasil ditunda dalam COP24, hambatan selanjutnya dibuka oleh Turki, yang ingin disebut sebagai negara berkembang daripada negara maju. Para delegasi yang lelah akhirnya masuk ke sesi penutupan pada hampir pukul 22.00 malam untuk menyepakati perjanjian.

Meski ada sejumlah hambatan, COP24 berhasil menghasilkan kesepakatan untuk menerapkan Perjanjian Paris 2015. David Waskow, dari World Resources Institute, mengatakan kesepakatan terakhir adalah landasan yang baik bagi negara-negara untuk menerapkan perjanjian itu.

“Konferensi ini mengatur arah perjalanan dan akan mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan. Sekarang negara-negara itu harus pulang dan mengerjakan pekerjaan rumah mereka, dengan meningkatkan komitmen mereka [pada pengurangan emisi]," kata Waskow, dikutip The Guardian.

Akan tetapi, pertanyaan kunci mengenai apakah negara-negara itu telah cukup melakukan pengurangan emisi, tidak dibahas dalam konferensi. Sebelumnya, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya telah memperkirakan konsekuensi yang mengerikan jika suhu dibiarkan naik lebih dari 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri.

Laporan IPCC yang dirilis pada Oktober lalu itu menunjukkan, dunia harus berubah secara drastis dalam dekade berikutnya untuk menghindari konsekuensi kenaikan suhu 1,5 derajat Celsius. Konsekuensi yang dimaksud adalah matinya terumbu karang, kekeringan, dan banjir, serta penurunan produktivitas pertanian di banyak wilayah.

Tahun ini, cuaca ekstrem telah terjadi di banyak bagian di dunia dan suhu rata-rata global tertinggi keempat telah tercatat. Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres, memuji negara-negara anggota PBB karena telah mencapai kesepakatan, tetapi ia masih menuntut lebih banyak.

"Persetujuan program kerja Perjanjian Paris adalah dasar untuk proses transformatif yang akan membutuhkan ambisi kuat dari masyarakat internasional," kata dia.

“Ilmu pengetahuan telah menunjukkan dengan jelas bahwa kita membutuhkan ambisi untuk mengalahkan perubahan iklim. Mulai sekarang, lima prioritas saya adalah: ambisi, ambisi, ambisi, ambisi, dan ambisi,” kata Guterres.

Dia juga menyebutkan perlunya negara-negara untuk memperkuat target pengurangan emisi dan menyesuaikan infrastruktur mereka untuk mengatasi dampak perubahan iklim. “Satu tahun bencana iklim dan peringatan yang mengerikan dari para ilmuwan terkemuka dunia seharusnya bisa menghasilkan lebih banyak dorongan lagi. Sebaliknya, negara justru mengabaikan sains dan penderitaan kelompok yang rentan," ujar Jennifer Morgan dari Greenpeace.

“Tanpa tindakan segera, bahkan aturan terkuat pun tidak akan membawa kita kemana-mana. Orang-orang mengharapkan tindakan, dan itulah yang tidak dilakukan oleh pemerintah. Ini secara moral tidak bisa diterima," ungkapnya.

Gareth Redmond-King, kepala perubahan iklim di WWF-UK, mengatakan ada beberapa kemajuan positif, tetapi dunia belum melakukan cukup aksi. Menurut dia, dunia berada dalam keadaan darurat iklim, namun beberapa pemimpin negara lebih memilih untuk menyangkal.

“Masa depan semua orang dipertaruhkan. Semua negara perlu jauh lebih serius tentang ambisi perubahan iklim," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement