REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai partai baru, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) beberapa kali mengusung isu-isu yang menyita perhatian publik. Hal ini membuat PSI mendapat cibiran, baik dari mitra koalisinya maupun pesaingnya.
Yang terakhir, PSI berencana menggagas larangan berpoligami bagi pejabat publik dan Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal itu dilakukan guna memperjuangkan keadilan bagi perempuan Indonesia.
"Kami akan memperjuangkan revisi atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang memperbolehkan poligami jika lolos ke parlemen," kata Ketua Umum PSI Grace Natali dalam keterangan remsi, Selasa (11/12).
Pernyataan itu diungkapkan Grace saat mengisi kegiatan 'Keadilan untuk Semua, Keadilan untuk Perempuan Indonesia' di Surabaya. Grace mengatakan, praktik poligami menyebabkan ketidakadilan bagi kaum hawa.
Menurut Grace, mengacu pada riset LBH APIK tentang poligami, memiliki pendamping hidup lebih dari satu menyebabkan ketidakadilan dan kesakitan bagi perempuan. Belum lagi, dia melanjutkan anak yang menjadi korban hingga akhirnya di telantarkan.
Grace mengatakan, perjuangan bagi kaum perempuan juga akan dilakukan diluar parlemen. Dia menambahkan, keadilan bagi kaum hawa juga telah dilakukan dengan di internal partai dengan menempatkan perempuan di posisi penting.
Lebih lanjut, Grace mengatakan lebih setengah penduduk Indonesia adalah perempuan. Dia meneruskan, dari total 55 persen perempuan yang saat ini berada di usia produktif, hanya separuh yang bekerja. Sedangkan, dia mengungkapkan, sekitar 36 juta perempuan memutuskan berhenti bekerja setelah menikah dan punya anak.
"Potensi inilah yang ingin kami gali. Kami akan berjuang membantu perempuan Indonesia untuk sekolah, bekerja, dan memaksimalkan potensi terbaik mereka," kata Grace lagi.
Baca juga: Gebuk MU, Liverpool Kembali ke Puncak Klasemen
Baca juga: Rusuh Ciracas: 'Mau Lihat Bangkai Anakmu di Pinggir Kali?'
Sebelum soal tema poligami, PSI juga menyatakan menolak peraturan daerah (perda) yang terkait dengan aturan agama. Yaitu, perda terkait injil dan syariah.
"PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi, dan seluruh tindakan intoleransi di negeri ini. PSI tidak akan pernah mendukung perda-perda Injil atau perda-perda syariah. Tidak boleh ada lagi penutupan rumah ibadah secara paksa," ujar Grace dalam sambutan yang ia sampaikan untuk peringatan hari ulang tahun keempat PSI, ICE BSD, Tangerang, Ahad (11/11).
Terkait hal itu, pengamat komunikasi politik dari Universitas Brawijaya Malang, Anang Sudjoko menilai PSI sebagai partai baru, tidak memiliki strategi kreatif yang berkualitas. Menurutnya, PSI hanya memgambil tema-tema yang kontroversi di masyarakat dan belum tentu jati diri partai bisa memberi solusi jitu.
"Hanya berkata tidak, padahal isu-isu tersebut belum tentu mampu menjadi magnet dalam kancah demokrasi di Indoensia," ungkap Anang, saat dihubungi melalui sambungan melalui pesan singkat, Ahad (16/12).
Bahkan, Anang menganggap PSI tampak seperti partai yang asal "nongol" dan tanpa ideologi yang benar-benar matang. Kemudian bekal-bekal retorikan politik dari para pimpinannya juga sangat lemah dari sisi wawasan jati diri bangsa Indonesia. Sehingga sampai saat ini tidak ada kejelasan apakah PSI ini partai kanan atau kiri. "Belum jelas sebagai partai kanan, tapi bisa jadi internalisasi nilai-nilai partai belum nampak di kader mereka," tambahnya.
Hanya saja, Anang mengaku, sampai sekarang belum ada penelitian untuk mengetahui apakah tema-tema kontroversial yang diangkat mampu menaikkan elektabilitas partai menjelang pemilihan legislatif (pileg) di tahun 2019 nanti. Namun jika dilihat sebagai partai pendatang baru, PSI sudah banyak dibicarakan.
Kendati demikian, setiap partai memiliki peluang untuk bisa lolos ke parlemen, termasuk PSI. Hanya saja, jika isu yang dimunculkan akan terus seperti saat ini, yakni tema-tema kontroversial. Maka "tahunya" masyarakat tidak bisa dieksekusi sebagai suara yang berpihak ke PSI jadi harus lebih berkualitas. "Mengingat secara financial, PSI sepertinya memiliki dana lumayan "gede" sebagai partai baru dari orang yang baru juga di kancah politik," tutup Anang.
Dari kubu lawan, Wakil Sekretaris Jenderal DPP Partai Gerindra Andre Rosiade menyoroti wacana kontroversial PSI terkait pelarangan poligami bagi pejabat publik hingga aparatur sipil negara apabila lolos parlemen. Menurut Andre, dibanding mengangkat isu poligami lebih baik PSI mengurusi permasalahan prostistusi.
Bagi Andre poligami sudah diatur dalam agama masing-masing maka tidak perlu lagi dipersoalkan. Apalagi, kata dia, menikah adalah hak konstitusi setiap orang. Bahkan di dalam Islam urusan poligami sudah diatur cukup ketat. "Di Islam poligami diperbolehkan dengan sejumlah persayaratan. Ada yang tidak boleh di agama Kristen maupun Katolik. Jadi aturannya sudah jelas," ungkap Andre, Ahad (16/12).
Oleh karena itu, Andre menyarankan lebih baik PSI mengurusi soal prostistusi dan perzinahan, jika ingin menghormati kaum perempuan. Maka sangat tidak tepat jika larangan poligami sekadar untuk menghargai kaum perempuan. Sebab berpoligami bukanlah tindakan yang tidak menghargai perempuan.
"Jadi lebih baik kita fokus bicara ekonomi saja, bicara hal-hal perbaikan, enggak usah meributkan poligami," tutur Andre.
Baca juga: Negara Surplus Jenderal dan Kolonel
Baca juga: Zulkarnain Menahan Ya'juj dan Ma'juj
Sedangkan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan mitra koalisi di Pilpres 2019, meminta PSI tidak menjadi beban bagi pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Pernyataan ini disampaikan berkaitan dengan sikap PSI yang dinilai menyinggung agama tentang penolakan partai akan poligami.
"Saya mengimbau rekan-rekan di PSI untuk tidak justru menjadi dirinya sebagai liabilities atau beban sehubungan dengan positiong strategi yang mereka lakukan," kata Ketua Umum PPP Romahurmuziy di Jakarta, Sabtu (15/12).
Rommy mengungkapkan ini terkait isu penentangan poligami yang diusung PSI. Menurut Rommy, poligami diyakini umat islam dan dimuat dalam kitab suci. Dia melanjutkan, posisi strategi yang dilakukan PSI dikhawatirkan akan melabelkan Jokowi sebagai anti-islam.
Lebih jauh, Rommy mengatakan, sikap pernyataan-pernyataan yang disampaikan PSI saat ini sebagai salah satu pendukung Jokowi justru menjadi beban. Sebabnya, Rommy meminta PSI beserta kadernya untuk tidak lagi melontarkan pernyataan demikian.
"Saya mengingatkan agar rekan-rekan pimpinan parpol bisa mengendalikan kader-kadernya dalam mengeluarkan pernyataan agar tidak menyinggug agama atau suku manapun," kata Rommy lagi.
Anggota Dewan Penasehat Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf itu mengungkapkan, evaluasi dalam internal koalisi bersifat terbuka untuk dilakukan. Hal itu, dikatakan dia, agar koalisi dalam satu napas pemenangan Pilpres.
"Saya kira kalau evaluasi kita terbuka kok karena tidak semua dari kita melangkah dalam proses pemenangan ini on the track," kata Rommy
Menjawab hal tersebut, Jubir PSI, Mohamad Guntur Romli menilai pernyataan Romahurmuziy tidak mencerminkan etika koalisi yang baik, dengan menyudutkan PSI dan berupaya membenturkannya dengan Jokowi.
"Penolakan PSI terhadap poligami merupakan sikap partai. Larangan itu untuk internal PSI dan usulan PSI kalau lolos ke Parlemen melalui kebijakan larangan poligami bagi pejabat publik dan ASN. Terkait aturan internal larangan poligami PSI punya hak untuk membuat aturan yang mengikat bagi pengrurus dan kader PSI yang tidak bisa dikomentari oleh parpol lain," katanya dalam keterangan resmi, Sabtu (15/12).
Ia menyatakan sikap PSI yang menolak poligami didasari suara-suara dari kalangan perempuan. Khususnya organisasi dan ormas perempuan seperti LBH Apik, Komnas Perempuan, Puan Amal Hayati, Rahima dan Koalisi Perempuan Indonesian. Ia menekankan penolakan PSI terhadap poligami lebih pada faktor sosial bukan agama.
"Kedudukannya lebih ke masalah sosial, keluarga, perlindungan perempuan, ibu dan anak, bukan ke soal perdebatan agama. Karena banyak penelitian dan bukti dari pengadilan, poligami adalah salah satu penyebab perceraian, anak dan keluarga yang terlantar dan keluarga yang tidak harmonis," ujarnya.
Sedangkan dalam kaidah agama, PSI tak menolak untuk membuka ruang diskusi.
"Terkait pro dan kontra hukum agama, PSI membuka ruang untuk terus berdialog," ujarnya.
Baca juga: Hamparan Hijau Indah ini Bukan di Eropa, Melainkan Makkah!
Baca juga: Mendikbud: Siswa tak Perlu Lagi Mendaftar Masuk Sekolah