REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tengah malam. Hening. Sepi. Lelaki itu sedang dalam perjalanan. Di balik cahaya remang, tampak olehnya seorang perempuan tua dan buta di pojok Kota Madinah.
Sontak, hatinya yang diliputi cahaya keimanan tergerak. Ia hampiri perempuan tua itu dengan membawa makanan dan minuman. Setelah semua kebutuhan si perempuan tua terpenuhi, barulah lelaki itu melanjutkan perjalanan.
Esoknya, lelaki itu datang lagi. Kali ini dia kalah cepat. Sudah ada seseorang yang mendahuluinya memenuhi kebutuhan perempuan tua itu. Ia pun pulang dengan kecewa. Kejadian yang sama terus terulang pada hari-hari berikutnya.
Entah siapa yang sudah mendahuluinya menebar kebaikan. Padahal, sudah berulang-ulang lelaki itu berusaha datang lebih dini, tapi tetap saja gagal.
Lambat laun, hatinya diliputi rasa ingin tahu. Siapa gerangan manusia yang lebih cepat dari langkahnya? Lelaki itu berusaha keras mencari tahu siapa yang datang menemui si perempuan tua di pojok Kota Madinah.
Setelah menyelidiki beberapa waktu, tahulah lelaki itu siapa 'rival'-nya. Dia tak lain adalah Abu Bakar as-Shidiq, yang saat itu telah menjabat khalifah. Dan, lelaki yang selalu kalah cepat itu, dialah Umar bin Khatab.
"Ah, engkau lagi, wahai Abu Bakar!"
Kita tak akan membicarakan kehebatan kedua sosok ini. Siapa pun tahu, Abu Bakar dan Umar menorehkan prestasi gemilang di kalangan sahabat Nabi, dengan karakteristik mereka masing-masing. Yang patut membuat kita takjub, betapa kedua orang ini selalu berlomba-lomba mengejar kebaikan. Menyelamatkan rakyat miskin dan papa.