REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Saladin adalah putra seorang perwira tinggi militer Kurdi Nur al-Din. Meski dari etnis Kurdi, Saladin sangat dipengaruhi oleh budaya dan bahasa Arab. Ia lahir di Tikrit, Irak, pada 1138.
Nama aslinya Yusuf bin Ayyub, tapi kemudian ia diberi nama tambahan Salah al-Din (pembimbing iman). Saladin berhasil merebut kembali kota suci tiga agama sekaligus meruntuhkan Kerajaan Latin Yerusalem pada 2 Oktober 1187.
Mungkin, dialah satu-satunya orang Kurdi yang dianggap pahlawan oleh orang Arab sampai kini. Yang jelas, dia adalah seorang Muslim yang cukup terkenal di dunia sehingga memiliki nama versi Barat.
Tentara salib dan kemudian seluruh Eropa menyingkat namanya menjadi Saladin, nama yang identik dengan romantisme seperti tertuang dalam puisi dan legenda Barat yang tak terhitung jumlahnya.
Legenda, tentu saja, dibumbui dengan berbagai mitos, cerita yang belum tentu benar, kepercayaan terhadap takhayul dan asmara. Kesemuanya bermunculan setelah kematian Saladin. Sosok asli Saladin pun hampir lenyap.
Untungnya, sejarawan Arab yang hidup pada zamannya dan para penulis se jarah Latin yang tinggal di Tanah Suci berhasil mendokumentasikan gambaran yang lebih realistis.
Tampaknya, Saladin adalah seorang pria ramping dengan tinggi sedang, kulit gelap, rambut gelap, mata gelap, dan memelihara janggot. Saladin juga digambarkan memiliki ekspresi yang sedikit melankolis.
Dia memiliki daya tahan tubuh yang luar biasa dan menyukai makanan yang sederhana. Dia menyukai buah segar dan serbat, meminum air barley ketika sedang sakit dan menyukai nasi.
Saat tidak sedang berada di lapangan, ia senang menghabiskan malam dengan dikelilingi para cendekiawan, teman-teman, dan penyair. Mereka biasanya membahas teologi dan hukum atau mendengarkan lantunan ayat suci Alquran.
Saladin kerap membawa buku kecil ke manapun ia pergi untuk menulis kutipan dari penulis kesukaannya. Sering kali, ia membaca kutipan tersebut keras-keras untuk mengungkap kan maksud pembicaraannya saat sedang berdialog.
Meskipun Saladin memiliki semua kekayaan Mesir dan Suriah, ia tidak silau. Kekuasaan tidak memiliki daya tarik baginya. Ketika ia menjadi penguasa tertinggi Mesir setelah kematian khalifah Fatimiyah terakhir, misalnya, ia lebih memilih tinggal di sebuah rumah sederhana kecil.
KisahBandingkan dengan istana khalifah yang luar biasa dengan 4.000 kamar, perpustakaan dengan 120 ribu buku, dan berkantungkantung permata. Ia tidak segan memberikan sebagian isi istana.