REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim kuasa hukum Oesman Sapta Odang (OSO) menyampaikan delapan alat bukti soal dugaan pelangggaran administrasi oleh KPU terkait proses pencalonan anggota DPD. Bawaslu akan kembali melanjutkan sidang dugaan pelangggaran administrasi ini pada Kamis (3/1).
"Tadi ada delapan alat bukti yang diberi tanda P1 hingga P8. Untuk isinya (bukti) aseperti apa, saya tidak bisa mengungkapkan," ujar Ketua Bawaslu Abhan kepada wartawan di Kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (2/1).
Sementara itu, KPU sebagai terlapor menyampaikan alat bukti berupa satu dokumen surat. Abhan melanjutkan, dalam kasus dugaan pelangggaran administrasi ini, tim kuasa hukum OSO juga akan mengajukan tiga orang saksi fakta dan dua orang saksi ahli. KPU selaku akan menghadirkan dua saksi ahli. Menurut Abhan, Bawaslu kembali menggelar sidang lanjutan dugaan pelanggaran administrasi pada pukul 10.00 WIB, Kamis pagi.
"Jadi disepakati sidang besok dengan agenda penyampaian bukti-bukti tambahan dari pelapor dan terlapor. Selanjutnya dipersilahkan kepada pelapor untuk sekaligus menghadirkan tiga saksi fakta," jelasnya.
Sebelumnya, komisioner KPU, Hasyim Asy'ari, mengatakan pihaknya menolak gugatan OSO terkait dugaan pelangggaran administrasi dalam pencalonan anggota DPD. KPU juga meminta Bawaslu untuk menolak dalil permohonan gugatan OSO tersebut.
Hasyim menjelaskan, KPU telah mengeluarkan surat nomor 1492 tahun 2018 perihal permintaan pengunduran diri kepada OSO sebagai pengurus parpol. Surat tersebut tertanggal 8 Desember 2018. Menurut Hasyim, surat tersebut diterima oleh pihak OSO pada 10 Desember 2018. Kemudian, laporan dugaan pelangggaran administrasi baru diterima Bawaslu pada 20 Desember 2018. Karena itu, lanjut Hasyim, dalil yang menyebut pelapor menerima surat pada 20 Desember 2018 tidak benar.
"Maka secara prosedur laporan pelapor sebetulnya telah melewati waktu. Terlapor (KPU), menolak dengan tegas terhadap dalil perlapor," ungkap Hasyim saat memberikan keterangan dalam sidang di Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu
Kemudian, berdasarkan surat nomor 1492 itu, OSO diminta untuk menyerahkan surat pernyataan pengunduran diri paling lambat pada 21 Desember. Konsekuensi jika OSO tidak menjalankan permintaan tersebut adalah namanya tidak akan dimasukkan ke dalam daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019.
"Maka, tidak benar jika kami menolak melaksanakan perintah putusan PTUN. Justru atas terbitnya surat itu, menunjukan bahwa KPU menghormati keputusan PTUN," tegas Hasyim.
Sebab, KPU telah berupaya menampung semua masukan dari berbagai pihak. Selain menghormati putusan PTUN, kata Hasyim, KPU juga wajib menjalankan amanat UUD 1945 sebagaimana tercermin dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 30 terkait pencalonan anggota DPD. Hasyim menekankan jika KPU sebagai penyelenggara tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
"Terlapor (KPU) meminta kepada majelis untuk menolak atau setidak tidaknya menyatakan tidak bisa menerima (dalil gugatan OSO). Dan menyatakan bahwa terlapor tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan pelanggaran adminsitrasi pemilu dan telah menjalankn aturan sesuai dengan perundang-undangan," tambahnya.