Jumat 04 Jan 2019 14:46 WIB

Saat Rumah Sakit Menjerit karena Tunggakan BPJS Kesehatan

Tunggakan pembayaran BPJS berdampak pada pasokan obat dan alat kesehatan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
BPJS Kesehatan.
Foto: ANTARA FOTO
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID,  Sejumlah rumah sakit (RS) di Bogor menjerit. Ini karena sebagian biaya operasional mereka yang seharusnya ditanggung oleh BPJS Kesehatan, belum dibayar. Hal ini membuat RS menjerit. Akibat tunggakan itu, sejumlah rumah sakit mengalami kendala pasokan obat dan alat-alat kesehatan yang berdampak pada pelayananan.

“Kita terpaksa utang buat beli obat. Sampai akhir 2018 kemarin saja untuk utang obat, bahan habis pakai, dan alat kesehatan sudah mencapai Rp 15 miliar,” kata Wakil Direktur Utama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Cibinong, Tomi, kepada Republika.co.id, Kamis (3/1).

Kendati tidak stabil dalam pembayaran obat dan kebutuhan kesehatan lainnya kepada pihak distributor, kata dia, pihaknya tetap menerima pasien BPJS Kesehatan dengan menggunakan dana talangan yang berasal dari pembayaran tunai pasien non-BPJS Kesehatan.

Namun menurutnya, jumlah pembayaran tunai itu tidak akan mampu menjangkau kebutuhan seluruh pasien BPJS Kesehatan yang berobat lebih dari satu bulan ke depan. Maka ia berharap pemerintah pusat dapat segera melunasi tunggakan tersebut minimal hingga akhir Januari ini.

“Kami masih akan memberi obat dan pelayanan lainnya, tapi nggak bisa lama-lama. Kita juga bisa kena penalti yang berujung pada penghentian pasokan obat dan alat kesehatan oleh distributor ke RSUD Cibinong ini,” kata dia.

Tomi menjelaskan, pihaknya sudah melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor terkait pencairan tunggakan dari BPJS Kesehatan pusat. Namun hingga kini, kata dia, rencana konkret pencairan tunggakan belum ada kejelasan.

Bahkan, lanjutnya, dalam Januari ini pihak BPJS Pusat belum memberikan tanggapan apapun terkait realisasi pencairan yang ditunggu itu.  Menurut Tomi, tunggakan pembayaran BPJS Kesehatan hanya berdampak pada pasokan obat, alat kesehatan, dan pelayanan yang kurang prima.

Pihaknya merasa bersyukur karena penunggakan itu tidak berimbas pada tuntutan gaji dokter dan pegawai.  “Kalau kami ini RSUD, jadi diuntungkan dengan sistem gaji PNS (pegawai negeri sipil). Jadi (penunggakan) nggak terlalu berdampak ke wilayah gaji,” kata dia.

Bupati Bogor Ade Yasin, menyatakan,  adanya tunggakan tersebut diduga menjadi salah satu faktor maraknya pengguna layanan BPJS Kesehatan tidak terlayani dengan baik di rumah sakit. Keluhan-keluhan tersebut, kata dia, datang dari para pasien yang berobat dengan jaminan BPJS Kesehatan.

Ade menyebut, pelunasan pembayaran oleh BPJS Kesehatan kepada rumah sakit dibutuhkan untuk membiayai operasional rumah sakit dalam menjalani fungsinya. Kerja sama yang baik patut dilakukan oleh BPJS Kesehatan demi kelangsungan program jaminan kesehatan terlaksana secara optimal.

Menurut dia, jumlah total pengguna BPJS Kesehatan di Kabupaten Bogor mencapai 700 ribu orang karena ada penambahan anggota dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 500 ribu penerima layanan.

Sementara itu Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bogor Tri Wahyu Harini menyebut, tunggakan BPJS Kesehatan ada di empat RSUD dan rumah sakit swasta di Kabupaten Bogor. Menurutnya, jumlah tunggakan tersebut cukup tinggi.

“Total keseluruhannya saya lupa, yang jelas di RSUD Cibinong sendiri saja tunggakan itu ada Rp 17 miliar,” katanya.

Tunggakan tersebut, lanjut dia, sudah mulai ada sejak pelayanan di bulan Agustus hingga November silam. Tri mengatakan, pihaknya telah mengupayakan agar BPJS Kesehatan dapat melunasi tunggakannya dengan cara berkoordinasi bersama sejumlah elemen pemerintah terkait. Di antaranya koordinasi dengan Komisi 4 DPRD Kabupaten Bogor beserta Pemda Bogor.

Menurutnya, meski koordinasi sudah dilakukan secara maksimal namun jumlah tunggakan yang ada belum dapat diatasi dengan baik. Hal itu, kata dia, karena ketentuan BPJS Kesehatan acuannya berada di kendali pemerintah pusat.

“Ini yang menjadi kendala kami, karena kami hanya pegang kendali di daerah,” kata dia.

Baca juga: Viking Persib Club Bantah Dukung Jokowi-Ma'ruf

Baca juga: Misteri Suara Pria Penyebar 'Tujuh Kontainer Surat Suara'

 

Janji membayar

Sementara itu, anggota Komisi lV DPRD Kabupaten Bogor, Haji Barkah, mengatakan, selain adanya dampak pelayanan dan pasokan obat yang tidak lagi maksimal, kata dia, beberapa rumah sakit swasta mulai melakukan pengajuan putus kontrak dengan sistem BPJS Kesehatan. Keputusan tersebut dilayangkan oleh beberapa rumah sakit swasta sejak kurun (1/1) silam.

Barkah menjelaskan, pihaknya menghargai keputusan rumah sakit swasta terkait putus kontrak tersebut. Kendati demikian, memutus kontrak terhadap sistem jaminan kesehatan nasional tidak dibenarkan dalam undang-undang yang berlaku.

“Jadi kita ingin tanyakan dulu ke mereka (rumah sakit swasta), apakah putus kontrak ini hanya berlaku sementara atau selamanya. Kalau sementara, kita perkenankan. Tapi kalau putus kontrak untuk selamanya, bisa berdampak pada pencabutan izin rumah sakit,” ujarnya.

Sementara, Humas BPJS Kesehatan Cabang Cibinong Wahyu Bhiantoro membenarkan  enam enam rumah sakit swasta di Kabupaten Bogor sejak (1/1) lalu sudah melakukan pemutusan dan pembatalan kontrak dengan BPJS Kesehatan. Artinya, pelayanan pasien yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan di enam rumah sakit yang ada telah dihentikan.

“Ini semua rumah sakit swasta, antara lain, RS Citama, RS Bina Husada, RSIA Annida, RS dr. Sismadi, RSIA Permata Pertiwi, dan RS Asysyifaa,” kata Humas BPJS Kesehatan cabang Cibibong, Wahyu Bhiantoro, Kamis (3/1).

Wahyu tak menyebut pemutusan dan pembatalan kerja sama itu karena tunggakan BPJS Ketenagakerjaan. Namun, utang BPJS Kesehatan Kabupaten Bogor kepada enam rumah sakit tersebut sebesar Rp 23.212.506.800 atau Rp 23 miliar lebih. Wahyu menjelaskan, keterlambatan pembayaran utang oleh BPJS Kesehatan bukan hanya terjadi di wilayahnya saja.

Menurut dia, pemutusan kontrak kerja sama dengan BPJS Kesehatan itu mengacu pada ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) nomor 99 tahun 2015 tentang perubahan Permenkes nomor 71 tahun 2013 tentang pelayanan kesehatan pada jaminan kesehatan nasional (JKN).

Wahyu menjelaskan, alasan pembatalan keenam rumah sakit tersebut belum selesai dalam perizinan operasional dan ketiadaan rekomendasi dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Satu-satunya rumah sakit yang beralasan tidak memiliki perizinan operasional adalah RS Citama. Sementara, sisanya beralasan tidak memiliki rekomendasi dari Kemenkes.

“Penghentian ini sifatnya baru sementara, kalau memang izin operasional dan rekomendasi dari Kemenkes keluar, nanti bisa kita proses lagi untuk bekerja sama,” kata dia.

Terkait tunggakan utang BPJS Kesehatan ke sejumlah rumah sakit itu, Wahyu menjelaskan, hal itu tudak akan memengaruhi pembayaran terhadap keenam rumah sakit yang dihentikan proses kerja samanya itu. Dia menjamin, pihaknya akan membayarkan tunggakan itu kepada enam rumah sakit yang ada hingga bulan pelayanan terakhir sebelum pemutusan kontrak berlaku.

Baca juga: Para Penghafal Alquran yang tak Tersentuh Tsunami

Baca juga: PSI dan Adab yang Hilang, Apa Salahnya Poligami?

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement