REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Cina membuka pintu lebar kepada PBB untuk datang mengunjungi Xinjiang, pusat de-radikalisasi Muslim Uighur.
Dalam konferensi pers harian Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Lu Kang mengatakan, semua pihak termasuk PBB diterima di Xinjiang dengan syarat mereka menjalani prosedur yang berlaku di negara tersebut.
"Para pejabat PBB harus menghindari intervensi permasalahan domestik Cina," kata Lu, Senin (7/1).
Ia juga meminta utusan-utusan PBB untuk berperilaku objektif dan netral. Pada Desember lalu petinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet mengatakan PBB sedang mencari akses untuk dapat masuk ke Xinjiang.
PBB ingin meverifikasi 'laporan yang mengkhawatirkan tentang kamp re-edukasi yang menahan kelompok minoritas Muslim, termasuk suku Uighur.
Pada Agustus lalu panel Dewan HAM PBB menerima laporan yang kredibel tentang penahanan jutaan warga suku Uighur di Xinjiang.
Sementara itu, sebanyak 15 duta besar negara-negara Barat yang dipimpin duta besar Kanada di Beijing berusaha meminta pernyataan resmi dari Petinggi Partai Komunis Cina, Chen Quanguo untuk menjelaskan laporan pelanggaran hak asasi terhadap Uighur. Langkah 15 duta besar ini sangat jarang terjadi dan cukup berani.
Baca juga, Amnesty: Muslim Uighur Xinjiang Menderita.
Dua pekan terakhir Pemerintah Cina sudah mengatur 12 duta besar negara-negara Barat untuk bisa mengunjungi Xinjiang. Termasuk sejumlah kecil wartawan untuk masuk ke dalam tiga fasilitas kamp re-edukasi Muslim Uighur.
Di pusat kamp re-edukasi itu para siswa suku minoritas Uighur belajar tentang bahayanya pemikiran-pemikiran radikal dalam bahasa Mandarin. Mereka juga bernyanyi dan menari di depan para wartawan, mereka menyanyikan lagu “If You’re Happy and You Know it, Clap Your Hands” dalam bahasa Inggris.
Pejabat Xinjiang mengatakan program de-radikalisasi ini berjalan suksese. Tapi akan semakin sedikit lagi orang yang akan mengikuti program ini di masa mendatang.
Pada tahun lalu dilaporkan Cina melakukan penangkapan dan interogasi besar-besaran terhadap Muslim Uighur tanpa melalui proses pengadilan. Laporan tersebut dibantah dengan keras oleh pemerintah Cina. n Lintar Satria/Reuters