Rabu 23 Jan 2019 15:43 WIB

Sri Mulyani: Pengelolaan Utang tidak Ugal-ugalan

Kondisi utang Indonesia dinilai masih lebih baik dibandingkan negara lain

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Utang/ilustrasi
Foto: johndillon.ie
Utang/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa pengelolaan utang Indonesia tidak dilakukan secara ugal-ugalan, melainkan dengan hati-hati dan transparan. Pernyataan Sri Mulyani ini menanggapi angka utang pemerintah pusat yang terus membengkak ke angka Rp 4.418,3 triliun per Desember 2018.

Sri juga menyampaikan bahwa realisasi defisit anggaran sepanjang 2018 juga cukup baik, dengan rasio defisit terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) bisa ditekan hingga 1,76 persen, lebih rendah dibanding target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 sebesar 2,19 persen.

"Poin saya, utang adalah alat yang kami gunakan secara hati-hati dengan bertanggung jawab, dibicarakan secara transparan, bukan ujug-ujug, tidak ugal-ugalan," kata Sri Mulyani usai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Rabu (23/1).

Lantas apakah kondisi utang Indonesia mengkhawatirkan? Sri menjelaskan bahwa kondisi Indonesia masih lebih baik bila dibandingkan negara lain, dengan catatan rasio utang terhadap PDB sebesar 29,9 persen per Desember 2018. Angka ini masih jauh di bawah standar kehati-hatian tingkat internasional yang menyebut bahwa rasio utang sebuah negara tak boleh lebih dari 60 persen.

"30 persen itu tidak tinggi, tapi kami juga tidak mengatakan kita kemudian mau sembrono, kan tidak juga, kami tetap hati-hati. Apakah dengan defisit 1,7 persen itu besar? Apakah berarti pemerintah ugal-ugalan? Ya tidak lah," kata Sri.

Kondisi ekonomi yang terjaga, ujar Sri, membuat pemerintah masih bisa mengelola pembangunan dengan baik. Pemerintah, kata dia, masih bisa melakukan pembangunan infrastruktur, membiayai pendidikan, dan menurunkan angka kemiskinan.

"Ekonomi kena guncangan, defisitnya tidak harus membengkak. Negara lain defisitnya harus dinaikkan supaya ekonominya bisa tumbuh tinggi. Kita tidak harus menambah defisit tapi ekonomi tetap terjaga di atas 5 persen," jelas Sri lagi.

Sri mengingatkan bahwa melihat utang Indonesia harus dari kacamata keseluruhan kebijakan pemerintah. Indonesia, ujar Sri, dengan segala dinamikan ekonomi dunia juga masih mampu meraih investment grade dari berbagai lembaga pemeringkat investasi.

Padahal di banyak negara termasuk Amerika Serikat (AS), outlook investasinya negatif karena mengalami shutdown. "Negara lain yang debt to GDP ratio-nya 60 persen, 80 persen, 90 persen, defisitnya lebih besar. Jadi lihat dari perspektif itu," kata Sri.

Sri juga mengingatkan masyarakat tentang mekanisme penyusunan APBN termasuk perincian utang yang ditarik pemerintah. APBN, ujar dia, disusun melalui perjalanan yang panjang termasuk penyusunan program kerja pemerintah melalui DPR.

Pemerintah juga memperkirakan besaran penerimaan pajak, termasuk apakah perlu menaikkan pajak atau menentukan siapa saja yang mendapat insentif atau keringanan pajak.

"Dari sisi itu lah kemudian akan ditentukan apakah APBN kita defisit. Kalau dia defisit, apakah sesuai dengan UU. UU membolehkan defisit maksimal 3 persen. Sehingga kalau setiap tahun ada pertambahan utang itu adalah hasil dari keseluruhan desain policy fiskal kita," jelas Sri.

Isu soal utang kembalu muncul setelah Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan negara-negara berkembang untuk menjaga rasio utang. IMF juga memangkas angka proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia menjadi 3,5 persen pada 2019, lebih rendah dari proyeksi tahun 2018 lalu sebesar 3,7 persen.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement