REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah kontestasi politik yakni Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) yang semakin dekat, berbagai manuver dan kampanye para calon mulai digalakkan. Para kandidat calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) sendiri telah memulai pertandingan dengan melakukan debat dengan menebar visi, misi, janji dan harapan kepada masyarakat. Namun debat tersebut tidak hanya dilakukan para kandidat. Para pendukung dari dua kandidat pun juga telah ikut berdebat baik di ruang sosial maupun di dunia maya.
Namun yang perlu diperhatikan bagi para pendukung kedua calon untuk dapat mengedepankan etika, adab dan kesantunan dalam berdebat. Hal ini agar masyarakat dididik untuk tidak mudah menyebar ujaran kebencian antar satu dengan lainnya. Hal tersebut dikarenakan dari kebencian tersebut dapat mengakibatkan tindakan kekerasan.
Untuk itu Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana meminta masyarakat para pendukung para calon kontestan politik ini untuk bisa menahan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan debat yang mengandung unsur ujaran kebencian di dunia maya.
“Di tengah debat calon kandidat yang semakin memanas, sudah seharusnya masyarakat para pendukung para kandidat ini harusnya secara rasional dalam mendapatkan informasi apapun dari dunia maya ataupun di dunia nyata untuk dapat menahan diri jika menemukan adanya ujaran kebencian yang dilakukan pendukung para kandidat yang juga ikut berdebat melakukan berdebatan,” ujar Hikmahanto Juwana beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Hikmahanto mengatakan, masyarakat dan para pendukung para kandidat ini harus dapat berpikir secara rasional dalam memahami proses politik, yaitu proses lima tahunan dalam perdebatan untuk memilih calon pemimpin bangsa ini. Tentunya sangat salah apabila memaknai debat tersebut seolah-olah ingin menyatakan diri benar atau paslon kandidatnya adalah yang paling benar.
“Rasional bahwa semua komponen masyarakat harus memastikan bahwa NKRI ini tetap tegak dan terawat dan bukan sebaliknya. Rasional dalam bertindak karena masyarakat yang berbeda pandangan pada akhirnya adalah saudara dan teman sendiri. Jangan sampai berdebat sampai pada titik ingin menghancurkan NKRI,” kata mantan Dekan Fakultas Hukum UI.
Pria kelahiran Jakarta, 23 November 1965 ini meminta kepada dan para pendukung untuk dapat mengedepankan etika dan kesantunan dalam melakukan debat. Hal ini untuk menjaga persatuan agar tidak menimbulkan perpecahan di masyarakat. Etika yang harus dikedepankan adalah jangan pernah merasa ingin menghancurkan bahkan meluluh-lantakkan lawan debat.
“Bahkan bila lawan tidak bisa diyakinkan akan memutus hubungan silaturahmi bahkan menggunakan kekerasan. Jelas ini tidak dewasa. Justru sebaliknya, bagaimana meyakinkan lawan dengan berempati. Artinya, seandainya saya di pihak lawan bagaimana saya bisa memahami berbagai argumentasi yang disampaikan. Apakah masuk akal atau tidak. Ini yang harus bisa dipahami dan diperhatikan oleh kita semua,” tuturnya.