REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada satu momen bersejarah pada masa awal Islam, yakni Perjanjian Hudaibiyah. Terjadi pada tahun keenam Hijriyah, ini merupakan capaian kesepakatan antara Rasulullah beserta kaum Muslimin dengan orang-orang Quraisy Makkah.
Kala itu, Rasulullah SAW dan para sahabat berangkat dari Madinah menuju Makkah untuk melaksanakan umrah. Sementara Makkah masih dikuasai kaum Quraisy.
Sesampai di Al-Hudaibiyah, rombongan Rasulullah dihadang oleh kaum musyrikin. Maka, terjadilah perundingan antara kedua pihak yang menghasilkan kesepakatan.
Antara lain, gencatan senjata selama 10 tahun, tidak boleh saling menyerang, dan kaum Muslimin tidak dibolehkan umrah tahun ini tetapi tahun berikiutnya. Butir kesepakatan yang terakhir dirasakan sangat berat oleh kaum muslimin karena mereka harus membatalkan umrahnya.
Bertepatan dengan akan ditandatanganinya perjanjian, anak Suhail, juru runding orang Quraisy, masuk Islam dan ingin ikut bersama Nabi SAW ke Madinah. Suhail pun mengatakan akan menolak menandatangani kesepakatan jika anaknya tidak dipulangkan kembali.
Rasulullah akhirnya menandatangani kesepakatan dan menepati janjinya. Anak Suhail dikembalikan, dan umat Muslimin harus membatalkan umrahnya.
Perjanjian Hudaibiyah menjadi bukti keteguhan Rasulullah SAW terhadap janji yang telah disampaikan, meski sangat berat dirasakan. Itulah mengapa, beliau dijuluki sebagai seorang yang jujur lagi terpercaya.
Belum lama perjanjian berjalan, orang-orang kafirlah yang justru mengkhianatinya. Akibatnya, mereka harus menghadapi pasukan kaum Muslimin pada peristiwa pembukaan kota Makkah (Fathu Makkah) yang membuat mereka bertekuk lutut.
Sejak itu, Islam kian berkembang di Tanah Arab. Demikianlah di antara buah menepati janji, yakni datangnya pertolongan dan kemenangan dari Allah SWT. Janji, kata yang ringan diucapkan namun berat dilaksanakan. Kadang terlontar janji, namun sampai saatnya memenuhi, tak ada niatan untuk menepati janji tersebut.
Ini bukanlah sikap positif. Seorang Muslim sejati antara lain memiliki ciri senantiasa menepati janji dengan yakin. Bahkan bisa dikatakan, sifat menepati janji menjadi salah satu faktor moral terpenting bagi keberhasilan seseorang dalam hidup bermasyarakat.
Rasulullah banyak memberikan teladannya, termasuk larangan keras mencederai janji meskipun dengan orang-orang kafir. Nabi SAW menempatkan seseorang yang ingkar janji dalam golongan kaum munafik.
''Tanda-tanda munafik ada tiga; jika ia berbicara, ia bohong; jika ia membuat janji, ia mengingkari; dan ketika ia dipercaya atas sesuatu, ia mengkhianati kepercayaan itu.'' (Muttafaqun'alaih)
Janji adalah refleksi sosial manusia dalam kehidupan berinteraksi atau muamalah dengan yang lain. Secara sederhana dan garis besar, janji dibagi menjadi tiga.
Pertama, janji kepada Allah SWT. Inilah janji yang diikrarkan sebagai jawaban peng iya-an manusia dari pertanyaan Allah SWT.
Dalam surat al-Araf ayat 172 disebutkan, ''Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi (tulang rusuk) mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) ''Bukankah aku ini Tuhanmu?'' Mereka menjawab, ''Betul (Engkau Tuhan kami).''
Kedua, janji kepada diri sendiri. Janji ini bisa berbentuk ungkapan untuk memberikan motivasi kepada diri sendiri agar melakukan amal kebajikan.
Adapun ketiga, janji kepada orang lain, kepada agama, suatu kelompok atau golongan, organisasi perkumpulan, partai, masyarakat, dan bahkan janji kepada negara dan pemerintah.
Menepati janji merupakan jantung moral dan perilaku Islam. Sifat itu juga salah satu dari tanda-tanda yang paling mengindikasikan kebenaran keimanan serta Islam.
Sebuah janji adalah janji kepada Allah, dan berarti standar martabat dan kesucian. Menepatinya menjadi kewajiban. ''Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.'' (QS al Maidah [5] : 1)
Banyaknya ayat maupun hadis terkait janji, menunjukkan bahwa menepati janji dan komitmen berada di antara tanda-tanda keimanan. Sebaliknya, ingkar janji sangatlah dicela, berdosa besar juga ciri-ciri orang munafik.