REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dian Fath Risalah
JAKARTA -- Terdakwa kasus suap proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1, Idrus Marham, meyakini semua tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada dirinya akan dimentahkan. Menurut dia, tuduhan KPK tentang dirinya yang sempat meminta bantuan uang untuk pencalonan ketua umum Golkar juga tidak terbukti dalam persidangan terdakwa dalam kasus yang sama, Eni Maulani Saragih.
"Saya mau jadi ketua umum itu karena kualitas, bukan karena isi tas, kalau ada yang sumbang tidak ada syarat, karena saya mau jadi ketua umum tidak tersandera oleh siapa pun," kata Idrus dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (29/1).
Idrus didakwa bersama-sama dengan Eni Saragih menerima hadiah berupa uang dari pemilik Blackgold Natural Recourses Limited Johannes Budisutrisno Kotjo, senilai Rp 2,250 miliar agar muluskan Blackgold mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Dalam kasus ini, Kotjo sudah divonis penjara selama dua tahun delapan bulan.
Idrus juga mengaku tidak tahu menahu soal aliran uang dari Kotjo kepada Eni. "Enggak tahu semua, semua uang yang diterima Eni, saya tidak tahu," kata Idrus.
Dalam sidang itu, KPK juga menghadirkan Eni. Mantan wakil ketua Komisi VII DPR itu mengaku menginginkan agar Idrus Marham selaku sekjen Partai Golkar saat itu mendapat bagian dari suap proyek PLTU Riau-1. Eni mengaku tak tega dengan Idrus yang sudah bekerja banyak untuk Partai Golkar, namun tidak kebagian dari hasil memuluskan proyek tersebut.
"Ini rasa keadilan. Saya ingin Pak Idrus sebagai sekjen partai besar juga kebagian. Pak Idrus yang sudah bekerja banyak dengan partai, harapan saya Pak Idrus juga dapat," kata Eni.
Eni mengakui, sejak awal dirinya memang ditugasi oleh mantan ketua Fraksi Partai Golkar, Setya Novanto (Setnov), untuk membantu pemegang saham Blacgold Natural Resources Limited Johanes B Kotjo mengawal proyek pembangunan PLTU Riau-1. Bahkan, Eni pernah menceritakannya kepada Idrus.
Saat itu, Idrus sempat memberikan peringatan kepadanya agar hati-hati membantu Setnov untuk mengawal proyek PLTU Riau-1. "Jadi, saya dari awal cerita (ke Idrus Marham) untuk membantu Pak Kotjo. Pak Idrus selalu bilang, hati-hati," katanya.
Namun, Eni mengaku tidak tahu maksud 'hati-hati' yang diperingatkan Idrus kepadanya. "Yang pasti, nanti hati-hati kalau saya salah, nanti salahnya dilimpahkan ke Eni saja. Jadi, saya sudah dari awal, sudah di-warning kaya gitu," katanya.
Eni juga mengungkapkan, dirinya sengaja ditunjuk sebagai wakil ketua Komisi VII DPR oleh Ketua Fraksi Partai Golkar Melchias Marcus Mekeng untuk mengawal agar Johannes Kotjo mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Penunjukan Eni pun diketahui oleh Idrus lantaran saat membuat janji untuk bertemu Kotjo di kediaman Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, hadir pula dalam pertemuan tersebut Idrus dan Mekeng.
Novanto, kata Eni, memerintahkan dirinya untuk membantu Kotjo dan dijanjikan fee senilai 1,5 juta dolar Amerika Serikat dari Kotjo dan saham oleh Novanto. "Saya loyal dengan pimpinan. Siapa pun ketua umumnya, saya akan laporkan. Kegiatan PLTU yang saya kerjakan juga saya laporkan," kata Eni.
Eni menerangkan, dalam pertemuan itu, Kotjo menjelaskan proyek di Tanjung Jati Jepara dan proyek PLTU Riau-1 dan Riau-2. Saat itu, kata Eni, Mekeng tertarik dan mengatakan bahwa Eni akan ditugaskan untuk mengawal proyek-proyek yang akan dikerjakan Kotjo. Oleh karenanya, Eni akan diangkat menjadi Wakil Ketua Komisi VII DPR yang membidangi masalah energi yang salah satu mitra kerjanya adalah PT PLN Persero.
Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah mengatakan, penyidik masih terus menilik semua hal yang muncul, baik dari sidang Eni maupun Idrus Marham. Hasil analisis JPU akan direkomendasikan ke pimpinan KPK. "Baik untuk kebutuhan persidangan Eni atau kebutuhan pengembangan perkara," katanya.
(ed: ilham tirta)