Kamis 31 Jan 2019 07:37 WIB

Pemprov Dikritik Soal Kampung Kumuh

Pemprov DKI dinilai kerap melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bilal Ramadhan
Warga beraktivitas di Sheter Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat, (6/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Warga beraktivitas di Sheter Kampung Akuarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Jumat, (6/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI Jakarta, Gembong Warsono mengatakan, rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI Jakarta bukan alasan masih adanya daerah kumuh di ibu kota. Menurut dia, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan seharusnya bisa mengentaskan kampung kumuh secara langsung.

"Jangan soal tata ruang sebagai alasan bagi Pemprov untuk mengeles bahwa ada wilayah di DKI Jakarta di depan mata masih dalam kondisi kumuh," ujar Gembong saat dihubungi Republika, Rabu (30/1).

Apalagi, lanjut dia, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta sudah memetakan kampung-kampung kategori kumuh. Menurutnya, Gubernur DKI bisa langsung membenahi kampung kumuh tersebut.

Gembong mengatakan, banyak cara yang bisa yang bisa dilakukan Pemprov DKI yakni relokasi dan penataan perkampungan kumuh. Warga bisa direlokasi ke tempat yang lebih layak.

Hal lain yang bisa dilakukan, kata dia, dengan menumbuhkan ekonomi kerakyatan. Menurut Gembong, mengangkat kampung kumuh bukan hanya soal permukimannya melainkan juga perekonomiannya.

Ia memaparkan, Pemprov DKI melalui Dinas Koperasi, UMKM, dan Perdagangan DKI Jakarta harus memberikan pelatihan kepada warga. Hal itu bisa mengangkat tingkat penghasilan warga yang tinggal di kampung kumuh.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti Nirwono Yoga menilai perencanaan RTRW DKI Jakarta dibuat dengan matang. Sebab, RTRW disusun untuk rentang waktu selama 20 tahun.

"Dan yang terbaru ini rencana tata ruang wilayah 2010-2030. Dari rentang waktunya direncanakan dengan matang tidak main-main. Satu yang harus disepakati, siapa pun gubenurnya harus mentaati rencana tata kota yang ada," kata Nirwono kepada Republika, Rabu (30/1).

Menurutnya, letak permasalahan dalam menangani kampung kumuh di Jakarta bukan soal RTRW-nya melainkan pelaksanaannya. Dalam hal ini, kata Nirwono, Pemprov DKI sejak dulu hingga sekarang tak mentaati RTRW yang sudah dibuatnya sendiri.

Ia menyebut, Pemprov DKI tak pernah konsisten dalam menata kota sesuai RTRW yang telah direncanakan. Menurut dia, justru baik Pemprov DKI maupun pihak pengembang melakukan pelanggaran-pelanggaran diantaranya mengenai perizinan pembangunan.

"Pada dasarnya Pemprov DKI tidak pernah konsisten terhadap tata kota yang dibuat Pemerintah Daerah (Pemda) sendiri. Begitu pelaksanaannya Pemda sendiri yang melanggar," ujar Nirwono.

Ia menjelaskan, di dalam RTRW tercantum daerah-daerah mana saja yang menjadi ruang untuk hunian, lahan hijau, maupun kawasan perkantoran. Ia mencontohkan, banyak lahan hijau di Jakarta yang justru dijadikan kawasan permukiman.

"Kampung Akuarium di dalam tata kotanya warnanya hijau (lahan hijau) tetapi masih difasilitasi bikin kampung," tutur Nirwono.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan penggusuran dalam menata kota. Sebab, menurut dia, penggusuran merupakan cara lama yang dilakukan pemerintah.

Anies menyampaikan, Pemprov DKI akan mengubah rencana tata ruang wilayah (RTRW) untuk menata kota Jakarta. Ia berharap perencanaan RTRW yang baru nanti bisa memuat aturan yang memungkinkan private sector terlibat dalam pembangunan kawasan.

Ia menjelaskan, ke depannya penataan kota akan berbasis kawasan. Ia mencontohkan dengan mengubah ketentuan koefisien lantai bangunan (KLB) di suatu kawasan yang saat ini berbeda-beda.

Perubahan KLB tersebut menurut Anies agar menarik pihak swasta untuk meningkatkan perekonomian di kawasan tersebut. Sehingga ketimpangan-ketimpangan yang selama ini terjadi di berbagai kawasan di Jakarta akan menurun.

"Sebuah wilayah begitu KLB-nya diubah, apa yang terjadi, di situ terjadi transaksi ekonomi. Kenapa? Karena sekarang (swasta) bisa membangun dengan KLB yang lebih tinggi," kata Anies, Rabu (30/1).

Menurut Anies, penataan yang dilakukan saat ini hanya berbasis bidang tanah (persil) dan jalan raya, bukan kawasan. Sehingga kegiatan perekonomian tidak akan berjalan yang menyebabkan adanya ketimpangan dan kekumuhan di satu kawasan yang sama.

"Itu sebabnya kenapa kemudian muncul ketimpangan-ketimpangan," ujar Anies.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement