Senin 04 Feb 2019 10:38 WIB

Polri Cari Kepastian WNI Pelaku Bom Gereja Filipina

Dua WNI diduga meledakkan diri di sebuah gereja di Pulau Jolo, Filipina Selatan.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Nur Aini
Kondisi gereja Katedral Romawi di Jolo, provinsi Sulu, Filipina usai dihantam dua bom, Ahad (27/1)
Foto: WESMINCOM Armed Forces of the Philippines Via AP
Kondisi gereja Katedral Romawi di Jolo, provinsi Sulu, Filipina usai dihantam dua bom, Ahad (27/1)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia (Polri)  masih menunggu hasil identifikasi Tim DVI untuk menentukan kebenaran pelaku pemboman gereja di Filipina. Sebelumnya, Mendagri Filipina menyebut dua warga negara Indonesia (WNI), terlibat dalam sebuah aksi pemboman.

“Proses identifikasi secara akurat harus menggunakan hasil dari DVI,” ujar Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo saat dihubungi Republika.co.id, Senin (4/2).

Ia juga menyatakan, belum dipastikan ada keterlibatan WNI dalam aksi pengeboman itu lantaran masih menunggu info lanjutan dari Kedutaan Besar Indonesa dan Kementerian Luar Negeri RI. “Menunggu info dari Kedubes dan Kemenlu dahulu,” kata Dedi.

Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Filipina, Eduardo Ano, menyatakan, dua pelaku serangan bom bunuh diri yang terjadi di sebuah gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina Selatan, pada 27 Januari 2019 merupakan warga negara Indonesia (WNI). Pernyataan itu dikatakan mengutip informasi yang didapatkan dari saksi mata dan sumber-sumber yang tidak diungkapkan.

Dari kesaksian itu, Menteri Ano mengaku yakin bahwa seorang pria Indonesia dan istrinya berada di balik serangan di Pulau Jolo yang mayoritas berpenduduk Muslim. Meski begitu, ISIS telah menyatakan bertanggung jawab atas bom yang menewaskan 22 orang serta melukai lebih dari 100 orang lainnya, termasuk warga sipil dan tentara.

“Yang bertanggung jawab adalah pelaku bom bunuh diri asal Indonesia. Namun, kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia, dan membawa pasangan ini ke gereja,” kata Ano, seperti diberitakan ABS-CBN News.

Ano menambahkan, seorang pria yang dikenal sebagai ‘Kamah’ yang sekarang menjadi tersangka dalam pengeboman itu bertindak sebagai salah satu pemandu pasangan Indonesia. Ano mengaku memiliki sumber yang memberitahunya bahwa pengeboman itu adalah ‘proyek’ kelompok teroris lokal Abu Sayyaf.

Direktur Senior Kepolisian Provinsi Sulu, Pablo Labra, mengatakan, beberapa saksi mata menunjuk seorang pria dan wanita yang mereka percaya bertanggung jawab atas aksi teror tersebut. Serangan di Filipina tersebut membangkitkan kekhawatiran tentang pengaruh ISIS di Asia Tenggara. Banyak yang khawatir para teroris dari Malaysia, Indonesia, dan tempat lainnya tertarik untuk datang ke Mindanao.  

Pemerintah Filipina sudah memberlakukan darurat militer di Mindanao sejak para pemberontak dan teroris menyerang Mirawi City pada 2017 lalu. Mereka bertahan selama lima bulan dari serangan udara yang terlihat seperti perang di Suriah dan Irak. 

Serangan itu terjadi setelah diadakannya referendum damai pada 21 Januari lalu. Referendum yang memberikan otonomi kepada masyarakat Muslim Mindanao kecuali kelompok Abu Sayyaf. 

Pada Rabu lalu (30/1), dua orang tewas dalam serangan lemparan granat ke masjid di dekat Zamboanga, provinsi mayoritas Kristen. Belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas serangan itu.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement