REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majalah al-Manar yang diinisiasi Rasyid Ridha bukanlah sekadar majalah. Media itu telah menjadi wahana kebangkitan kesadaran umat Islam mondial.
Betapa banyak tulisan Rasyid Ridha yang menyerukan pembaca menyadari permainan kotor kolonialisme Inggris dan Prancis. Kedua kuasa Eropa itu menindas dan memecah-belah umat Islam, khususnya bangsa Arab.
Demikian pula, Rasyid Ridha banyak melancarkan kritik terhadap kekuasaan absolut Kesultanan Utsmaniyyah. Dia juga mewanti-wanti bahwa umat Islam dapat mengisi peran besar dalam dunia modern yang bermula sejak awal abad ke-20.
Ide politik Rasyid Ridha adalah persatuan umat Islam sedunia atau pan-Islamisme. Baginya, kebangkitan kaum Muslim hanya mungkin bila perasaan saling bersaudara (ukhuwah Islamiyah) tumbuh kuat dalam diri kolektif mereka.
Oleh karena itu, dia menyerukan agar para pemimpin tidak berpikiran jangka pendek, yakni melanggengkan kekuasaan pribadi semata. Dia menegaskan bahwa pemimpin yang ideal adalah yang telah melalui pemilihan umum oleh rakyatnya. Untuk itu, Rasyid Ridha mengajak kepada para pemimpin Muslim agar meruangkan lagi cara-cara musyawarah dan mufakat dalam membuat kebijakan.
Rasyid Ridha percaya bahwa kunci kemajuan umat Islam hanyalah kembali kepada Alquran dan Sunnah. Keduanya merupakan tuntunan abadi sekaligus kebenaran universal.
Di sisi lain, Rasyid Ridha khawatir bila umat Islam masih terkungkung dalam pengaruh mitos, takhayul, dan hal-hal yang tidak berdasarkan logika. Padahal, zaman modern akan mengeliminasi siapa saja yang tidak mau berderap maju.
Oleh karena itu, Rasyid Ridha merasa perlu untuk membuat satu tafsir Alquran yang kontekstual menjawab pelbagai tantangan zaman modern.
Baca juga: Rasyid Ridha, Sang Penyala Api Modernisme Islam (5)