REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Islamic Book Fair 2019 resmi dibuka oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokasi (PAN-RB) Syafruddin. Dalam pemaparannya, dia berharap, acara ini berjalan lancar dan dapat mendukung kemajuan budaya baca-tulis di tengah umat Islam.
"Dengan mengucapkan bismillah, Islamic Book Fair yang ke-18, tahun 2019 Masehi, 1440 Hijriyah, saya nyatakan resmi dibuka pada hari ini, Selasa, 27 Februari 2019. Semoga, usaha kita semua dalam membangun dunia literasi Islam berteguh dalam prinsip kebenaran dan terus berjuang untuk bangsa dan negara demi terwujudnya Islam yang rahmatan lil 'alamin," tutur Menteri Syafruddin kepada hadirin di Jakarta Convention Center, Senayan, Jakarta, Rabu (27/2).
Lebih lanjut, dia mengapresiasi jajaran panitia IBF antara lain karena terus berkomitmen untuk menyelenggarakan pesta buku islami rutin tahunan hingga kini yang ke-18. Menurut Syafruddin, tren pengunjung IBF terus mengalami peningkatan. Untuk tahun ini, diperkirakan jumlah pengunjung akan meningkat 20 persen.
Syafruddin mengungkapkan, kemajuan literasi merupakan hal yang sangat penting seiring dengan perkembangan teknologi digital yang begitu pesat. Karena itu, budaya membaca perlu terus ditingkatkan agar mampu mengikuti arus ilmu pengetahuan dan informasi.
"Dengan begitu, cara berpikir kita jadi maju dan terbuka. Di dalam buku, terkandung mutiara-mutiara yang tak ternilai harganya. Pertumbuhan literasi jadi indikator kemajuan suatu bangsa," ucap wakil ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) itu.
Dalam kesempatan itu, Syafruddin menyampaikan sekilas sejarah awal peradaban Islam, ketika Rasulullah SAW menerima wahyu pertama yang berisi diperintah untuk membaca. Semangat literasi sudah ditekankan sejak awal kemunculan Islam.
Islam kemudian berada pada puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaan daulat Islam membentang dari Jazirah Arab hingga Eropa dan Afrika Utara.
"Saat awal Islam berkembang, Rasululullah adalah penggerak sekaligus poros kejayaan Islam dan para sahabat Nabi SAW di bawah khulafaurrasyidin, kita mengenal di mana kejayaan Islam yang terakhir itu kesultanan Ottoman (Turki Utsmani)," papar dia.
Dinasti Abbasiyah pun dikenal sebagai motor peradaban Islam. Negeri itu memiliki perpustakaan terhebat di dunia pada masanya, sehingga menjadi pusat aktivitas intelektual, pusat peradaban, dan sentra kebangkitan ilmu pengetahuan.
Namun, saat ini umat Islam sedang diuji dengan berbagai macam pengaruh negatif yang datang dari mana saja, baik dari dalam maupun luar negeri. Bagaimanapun, Syafruddin meyakini, di antara generasi muda Muslim dapat muncul kembali tokoh-tokoh hebat yang berkiprah melalui ilmu pengetahuan.
"Jika umat Islam bersatu dan berupaya menggali kembali kejayaan apa yang dilakukan tokoh-tokoh Islam kita, niscaya akan lahir kembali manusia dan tokoh Islam yang hebat, melalui pengetahuan, budaya baca, dan diskusi," ungkap dia.