REPUBLIKA.CO.ID, DEIR AL-ZOR -- Pemuda berusia 16 tahun, Hareth Najem berhasil melarikan diri dari kantong terakhir Negara Islam Irak Iran (ISIS) di Suriah timur. Sanak keluarga anak yatim Irak itu meninggal dua tahun lalu dalam serangan udara melintasi perbatasan di wilayah al-Qaim.
"Saya memiliki dua saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan. Mereka semua meninggal, saya sendiri sekarang," kata Hareth kepada Reuters dengan air mata memenuhi matanya. "Adik perempuanku, aku sangat mencintainya. Saya biasa membawanya ke pasar," Hareth mengenang pilu.
Hareth meringkuk berbaring di sebuah truk ternak di samping anak laki-laki lain yang terluka di titik transit gurun untuk pasukan yang didukung Amerika Serikat (AS). Wajahnya dikotori oleh lumpur dan sisi kepalanya dibalut perban menutupi luka yang menimpanya beberapa hari lalu.
Hareth berusia 11 tahun ketika ISIS mengukir "kekhalifahan" di Irak dan Suriah. Kala itu, ISIS menewaskan ribuan warga sipil dan menarik berbagai musuh yang telah berjuang dari udara dan darat untuk mencabut para jihadis.
Kini usianya 16 tahun, ia termasuk di antara anak-anak yang terpilih dalam evakuasi sipil di Baghouz pekan ini. Baghouz merupakan tanah terakhir di bawah kendali jihadis di mana mereka berada di ambang kekalahan di tangan Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS.
Hareth mengatakan, keluarganya membuka sebuah kios di pasar ketika ISIS menyerbu kota mereka. Keluarganya, kata dia tidak memiliki hubungan dengan kelompok itu.
Setelah keluarganya terbunuh dalam serangan udara, ia dengan warga Irak lainnya menyeberang ke Suriah. Mereka takut milisi Muslim Syiah yang maju melawan ISIS akan membalas dendam pada Sunni.
Hareth mengatakan, dia berusaha menghindari para militan. Dia menolak masuk sekolah untuk menerima pelatihan militer. Polisi terkadang menangkap dan mencambuknya.
"Mereka memberikan pidato di masjid-masjid, jihad, dan yang lainnya," katanya. "Aku takut pada mereka. Seluruh keluarga saya meninggal karena mereka," katanya lagi.
Ketika dia sampai di Baghouz, dia bekerja di sebuah ladang dengan imbalan sebuah kamar tinggal. Kemudian, Hareth menabung untuk pulang, tetapi sayangnya para militan menghentikannya.
Hareth mendapatkan luka di telinga, tangan, dan perutnya ketika sebuah peluru jatuh di dekat tempat dia berdiri di sepanjang Sungai Efrat. Dia menderita dan sangat membutuhkan medis dan kembali ke kerabat yang masih hidup di Irak.
"Jika saya menjadi lebih baik dan tubuh saya pulih, saya bisa berjalan, saya akan mencari mereka," katanya. "Saya ingin kembali, menjadi seorang pemuda lagi, untuk membangun masa depan lagi," kata dia.
Beberapa dari anak-anak itu adalah orang asing yang orang tuanya membawa mereka untuk dibesarkan di bawah pemerintahan ISIS. Ada juga para anak dari militan yang masuk wajib militer ke dalam apa yang oleh kelompok itu dijuluki "anak-anak kekhalifahan". Yang lainnya, termasuk anggota minoritas Yazidi, yang diperbudak oleh para militan ISIS.
Orang tua mereka mati dalam pertempuran. Sebagian lainnya ditahan oleh pasukan. Ketika ISIS menghadapi kekalahan teritorial, nasib mereka tetap tidak pasti. SDF menyelidiki semua pria dan remaja pria yang tiba dari Baghouz untuk menentukan kemungkinan berafiliasi dengan ISIS.
Komandan SDF Adnan Afrin mengatakan, sekitar 20 anak melintasi garis depan tanpa pendamping. Mereka berasal dari Irak, Suriah, Turki, dan Indonesia. Ayah dari beberapa anak diidentifikasi sebagai militan ISIS dan segera ditangkap.
"Anak-anak ini tidak punya siapa-siapa. Mereka membutuhkan seseorang untuk merawat mereka, untuk memberikan dukungan kesehatan mental," kata Afrin. Dia mengatakan, beberapa anak kelaparan untuk waktu yang lama. SDF berencana untuk menyerahkan anak-anak ke kelompok-kelompok bantuan.