Kamis 07 Mar 2019 19:06 WIB

Robertus Robet yang Seharusnya Dilindungi, Bukan Ditangkap

Robertus Robert ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka atas tuduhan menghina TNI.

Red: Andri Saubani
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (tengah) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kanan) bersiap memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Aktivis HAM yang juga dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Robertus Robet (tengah) didampingi Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo (kanan) bersiap memberikan keterangan pers usai menjalani pemeriksaan di Bareskirm Mabes Polri, Jakarta, Kamis (7/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Idealisa Masyrafina, Dian Fath Risalah, Hasanul Rizqa, Bambang Noroyono

Aktivis sekaligus dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robet, ditangkap oleh polisi di rumahnya pada Rabu (6/3) sekitar pukul 23.45 WIB dan dibawa ke Mabes Polri atas tuduhan UU ITE terkait orasi dalam Aksi Kamisan, 28 Februari lalu. Dalam aksinya itu, Robet mengkritik rencana pemerintah memberikan jabatan sipil kepada perwira aktif TNI.

Baca Juga

Langkah polisi yang langsung menangkap dan menetapkan Robet sebagai tersangka menuai kecaman dari komunitas masyarakat sipil. Amnesty International Indonesia, menilai, langkah represif terhadap Robet merupakan penanda belum tuntasnya reformasi di tubuh militer.

Menurut Direktur Eksekutif Amnesty International Usman Hamid, hal tersebut mendorong polisi untuk bertindak sebagai alat untuk merepresi kebebasan berpendapat. Apalagi, ia mengatakan, kepolisian bukan hanya menangkap, melainkan juga menetapkan Robet sebagai tersangka.