REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Pemerintah Cina membantah tudingan tentang keberadaan kamp konsentasi di Provinsi Xinjiang. Beijing justru menyebut bahwa mereka mengelola sekolah asrama di wilayah tersebut.
"Beberapa suara internasional mengatakan Xinjiang memiliki kamp konsentrasi dan kamp reedukasi. Pernyataan seperti ini benar-benar bohong, palsu, dan tidak masuk akal," kata Gubernur Xinjiang Shohrat Zakir pada Selasa (12/3).
Dia tak menyangkal bahwa memang ada fasilitas pendidikan di Xinjiang. Namun itu bukan kamp reedukasi. "Mereka sama dengan sekolah asrama," ujar Zakir seraya menambahkan bahwa kebebasan pribadi setiap siswa dijamin.
Pusat pendidikan, seperti yang diklaim Pemerintah Cina di Xinjiang, memang telah mengundang kecurigaan dunia internasional. Sebab pusat-pusat tersebut lebih menyerupai penjara dibandingkan asrama atau sekolah. Bangunannya dikelilingi tembok tinggi dan dibentangkan kawat berduri di puncaknya.
Ada pula menara pengawas. Gerbangnya selalu dijaga oleh aparat keamanan dan didampingi anjing pelacak.
Duta besar Amerika Serikat (AS) untuk kebebasan beragama Sam Brownback mengatakan situasi di Xinjiang benar-benar tak dapat diterima. Selama menjalin komunikasi dengan otoritas Cina, keterangan mereka perihal pusat-pusat yang didirikan di Xinjiang selalu berubah.
Menurut Brownback, awalnya Pemerintah Cina menayangkal keberaraan kamp-kamp di wilayah tersebut. Kemudian mereka menyebut terdapat bangunan-bangunan khusus yang diklaim sebagai pusat pendidikan vokasi. Lalu kali ini Beijing menyebutnya sekolah asrama.
Cina telah dituding membangun kamp-kamp interniran di Xinjiang dan menahan lebih dari 1 juta Muslim Uighur di dalamnya. Beijing menyangkal tuduhan tersebut. Mereka menyatakan bangunan-bangunan itu sebagai kamp reedukasi.
Menurut Pemerintah Cina di dalam kamp reedukasi, para Muslim Uighur diajarkan berbagai keterampilan, seperti menjahit dan lainnya. Otoritas Cina mengatakan kehadiran pusat pelatihan kejuruan tersebut penting guna menghapus kemiskinan di Xinjiang. Mereka mengklaim bahwa para peserta telah menandatangani perjanjian untuk menerima pelatihan kejuruan.
Namun banyak pihak meragukan klaim Cina. Hal itu terutama disebabkan keengganan Cina memberi kemudahan akses bagi dunia internasional untuk berkunjung ke Xinjiang.