REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Federica Mogherini menilai intervensi militer di Venezuela bukan jalan terbaik menyelesaikan krisis kemanusiaan dan politik. Menurutnya, solusi yang dibutuhkan harus bersifat politis, damai dan demokratis.
"Ketegangan memang telah meningkat secara dramatis di sana. Tetapi solusi krisis tersebut harus bersifat politis, damai dan demokratis," kata dia seprti dilansir di Anadolu Agency, Rabu (13/3).
Mogherini menegaskan, intervensi militer dari dalam dan luar negeri tidak dapat diterima. "Dan solusinya tidak dapat, tidak boleh, dipaksakan dari luar," ujar dia di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa di New Yok, AS.
Kendati demikian, Presiden AS Donald Trump dan para pejabat seniornya telah menolak mengabaikan penggunaan kekuatan militer untuk mengakhiri krisis di Venezuela. Mereka malah bersikeras semua opsi tetap ada di atas meja.
Mayoritas negara Uni Eropa, AS, dan belasan negara lain mengakui presiden Majelis Nasional Venezuela Juan Guaido sebagai pemimpin sah negara itu setelah ia menyatakan dirinya sebagai presiden sementara pada 23 Januari lalu.
Namun, Presiden Venezuela Nicolas Maduro dengan gigih menolak seruan dari Guaido dan para pendukungnya untuk menyerahkan kekuasaan. Maduro bersikeras dia adalah korban dari kudeta yang diatur AS.
AS telah memimpin kampanye internasional untuk menerapkan tekanan ekonomi dan diplomatik kepada Maduro, termasuk memberikan sanksi kepada perusahaan minyak milik negara negara itu, Petroleos De Venezuela S.A., atau PDVSA. AS juga memasukkan ke daftar hitam pejabat pemerintah Venezuela yang tetap setia pada Maduro.
Berdasarkan catatan Dana Moneter Internasional, Venezuela mengalami kekurangan pangan dan obat-obatan yang meluas dan memiliki tingkat inflasi tertinggi di dunia. Perekonomian Venezuela juga mengalami penurunan tajam menyusul penurunan harga minyak mentah global. Dalam kondisi ini, Turki, Rusia, Iran, Kuba, Cina, dan Bolivia mempertahankan dukungannya untuk Maduro.