REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Eritrea jatuh ke dalam cengkeraman kolonialisme Italia sejak 1889. Selanjutnya, keputusan PBB 1952 menetapkan Eritrea sebagai negara bagian Etiopia. Akan tetapi, masyarakat Eritrea menolak keputusan tersebut sehingga memicu sejumlah pemberontakan di penjuru negeri itu.
Semasa pemerintahan Haile Selassie (Kaisar Ethiopia yang memerintah hingga 1974), umat Islam Eritrea mengalami berbagai macam penindasan dan penyiksaan. Banyak Muslim yang tewas karena menentang rezim tirani tersebut.
Antara 1967 hingga awal dekade 1970-an, ratusan ribu warga Eritrea terpaksa mengungsi meninggalkan kampung halaman mereka lantaran sudah tidak tahan lagi dengan berbagai teror dan kekerasan yang dilakukan penguasa Ethiopia. Tidak sedikit perempuan, anak-anak, dan lansia yang meninggal dalam pengungsian mereka.
“Tidak sampai di situ saja, ada sekitar 200 ribu warga Eritrea yang mati kelaparan karena kebijakan pertanian yang salah arah dari pemerintah,” ungkap Harun Yahya dalam artikelnya, “The Struggle of Eritrean Muslims”.
Kaisar Haile Selassie digulingkan melalui sebuah kudeta pada 1974. Pemerintahan Ethiopia selanjutnya diambil alih oleh junta militer yang berhaluan marxisme. Namun, situasi tersebut tidak mengubah keadaan umat Islam Eritrea. Kaum Muslimin terus saja menghadapi penindasan, penyiksaan, dan penangkapan di bawah rezim komunis itu.
Pemimpin marxis Ethiopia, Mengistu Haile Mariam, tidak segan-segan membunuh orang-orang yang memiliki pandangan berbeda dengan dirinya. Selama 17 tahun kekuasaannya, 10 ribu masjid di Ethiopia dan Eritrea dihancurkan. Sekitar satu juta warga Muslim terpaksa mengungsi atau mencari suaka ke negara tetangga Sudan dan Somalia.
Rezim komunis Mengistu di Ethiopia berakhir menyusul runtuhnya Blok Timur pada 1991. Kelompok oposisi yang dipimpin oleh Isaias Afeworki kemudian menyerukan dibentuknya negara Eritrea merdeka. Hasil referendum yang dilakukan pada 25 April 1993 pun akhirnya memutuskan, Eritrea tidak lagi menjadi bagian dari Ethiopia.
Afeworki menjabat sebagai presiden Eritrea pertama pascakemerdekaan. Namun, di bawah pemerintahan sang presiden, umat Islam Eritrea masih saja mengalami berbagai macam penindasan. Banyak sekolah Islam yang ditutup dan tidak sedikit pula masjid yang dihancurkan selama periode Afeworki. Bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa resmi di Eritrea. Ratusan ribu warga Eritrea meninggalkan rumah mereka dan berlindung di Sudan.
Afeworki—yang sampai hari ini masih menjadi presiden—juga membawa Eritrea ke ambang perang dengan negara-negara tetangga, seperti Yaman dan Djibouti. Tidak hanya itu, dia juga memusuhi Sudan karena menampung pelarian politik dari negaranya.