REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU), telah resmi menghentikan layanan pindah memilih pada Ahad (17/3) lalu. Dengan demikian, saat ini KPU tidak lagi memberikan pelayanan bagi masyarakat yang ingin pindah memilih dalam Pemilu 2019.
Komisioner KPU, Viryan, mengatakan sampai saat ini masih ada masyarakat yang ingin mengurus dokumen A5 atau formulir pindah memilih. Namun, pihaknya tetap tidak bisa memberikan pelayanan kepada pemilih golongan DPTb itu.
"Masih ada pemilih yang ingin melakukan kegiatan pindah memilih. Sementara itu, KPU saat ini tidak lagi melakukan fasilitasi kegiatan pindah memilih. Kecuali, jika nantinya Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi soal pindah memilih ini," ujar Viryan ketika dihubungi, Selasa (19/3).
Dia melanjutkan, saat ini ada dua pihak yang mengajukan uji materi soal aturan pindah memilih. Keduanya mempersoalkan ketentuan pindah memilih dengan batas waktu maksimal 30 hari sebelum hari H pemungutan suara pada 17 April.
Dengan kata lain, menurut Viryan, KPU kemungkinan bisa menyesuaikan aturan soal pindah memilih jika sudah ada putusan MK. Sebaliknya, jika MK tidak segera menetapkan putusan uji materi itu, KPU tetap berpegang kepada regulasi awal.
"Sehingga tidak memberikan pelayanan kepada pemilih golongan DPTb. Artinya, pemilih yang ingin melakukan kegiatan pindah memilih harus tetap menggunakan hak pilihnya di daerah asal mereka," tegas Viryan.
Sementara itu, saat ini KPU masih melakukan rekap data seluruh jumlah pemilih DPTb. Hingga akhir pekan lalu, jumlah pemilih yang sudah mengurus dokumen A5 itu tercatat sebanyak 328 ribu orang. Data tersebut masih akan bertambah sebab KPU memantau jumlah penduduk yang pindah memilih pada 17 Maret lalu sangat banyak.
"Kami saat ini sedang merekap dan mendistribusikan pemilih DPTb ke TPS sekitar. Dan mencatat kebutuhan surat suara untuk memenuhi hak pilih mereka," tambah dia.
Sebelumnya, dua orang mahasiswa yang berkuliah di Bogor mengajukan uji materi terhadap ketentuan pindah memilih dalam Pasal 210 ayat (1) ayat (2), dan ayat (3), Pasal 344 ayat (2) dan Pasal 348 ayat (4) UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Keduanya yakni Joni Iskandar sebagai Pemohon I dan Roni Alfiansyah Ritonga sebagai Pemohon II.
Joni Iskandar berasal dari Kabupaten Ogan Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Dirinya tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) tempat asalnya.
Akibatnya, Joni tidak bisa mengurus pindah memilih ke Kabupaten Bogor dan terancam tidak bisa menggunakan hak pilihnya pada Pemilu Tahun 2019. Sementara itu, Roni Alfiansyah Ritonga berasal dari Kabupaten Labuhanbatu, Provinsi Sumatera Utara.
Roni sudah tercatat dalam DPT di daerah asalnya. Kemudian, dirinya pun telah mengurus keterangan pindah memilih ke KPU Kabupaten Bogor.
Namun, Roni merasa khawatir tidak bisa memilih karena ada potensi kekurangan surat suara. Roni pun merasa tidak puas akibat kepindahan itu, dia hanya mendapatkan satu surat suara yakni untuk pemilihan presiden dan wakil presiden.
Kedua mahasiswa ini pun berpandangan bahwa aturan pindah memilih berpotensi mencederai hak konstitusional mereka sebagai warga negara. "Hakikat memilih untuk semua jenis pemilihan dalam pemilu merupakan partisipasi bagi bangsa dan negara tanpa harus dibatasi sekat-sekat kedaerahan atau daerah pemilihan. Sehingga pemilih DPTb pun harusnya diberlakukan sama, yaitu memperoleh lima jenis surat suara," tegas Roni dalam keterangan tertulisnya.