REPUBLIKA.CO.ID, PEKANBARU -- Menghadapi pemilu 2019, pemilih milenial diminta ikut berpartisipasi dan tidak abai. Pesan itu disampaikan dr Irvan Herman, caleg milenial dari Dapil Riau 1 yang juga Wasekjen Partai Amanat Nasional (PAN) di Pekanbaru.
Berkolaborasi dengan Wasekjen DPP PAN, Faldo Maldini, Irvan menggelar dialog bersama milenial di Kota Pekanbaru bertajuk Manifesto Milenial, Senin (18/3) malam. Irvan mengajak kaum milenial Riau berpartisipasi dalam Pemilu 2019.
"Jangan abai dan membiarkan masyarakat Riau diwakili oleh orang yang tidak kompeten, tidak mudah untuk berkomunikasi dan tidak memahami karakter milenial," kata Irvan, Senin.
Irvan juga nantinya akan melibatkan milenial dalam membangun sistem komunikasi berbasis IT antara anggota dewan dengan masyarakat yang diwakilinya. Di kesempatan itu, Faldo Maldini memberikan gambaran betapa berperannya milenial dalam menentukan arah kebijakan pemerintah melalui partai politik dan parlemen.
Atta, warga Pekanbaru yang hadir dalam acara itu mengapresiasi upaya interaksi yang dilakukan dengan dialog-dialog yang cair. Tidak sekadar orasi atau paparan semata.
“Dengan acara seperti ini, kami jadi tahu siapa caleg kami, berapa nomor teleponnya, apa akun medsosnya sehingga nantinya kami bisa berkomunikasi menyampaikan aspirasi dengan mudah. Tidak seperti yang lalu, jangankan menelepon atau berjumpa, nama anggota dewan yang mewakili kami pun tak tahu,” ucap Atta.
Posisi generasi milenial pada pemilu 2019 sangat diperhitungkan oleh peserta pemilu. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) menunjukkan jumlah pemilih milenial mencapai 80 juta jiwa dari 193 juta pemilih atau berkisar 40 persen yang tentu sangat berpengaruh.
Dr Sri Nuryanti, ahli Kepartaian dan Pemilu LIPI, menyatakan generasi milenial harus memahami bahwa pemilu di Indonesia itu sebagai hak dan sifatnya voluntary, tetapi menentukan masa depan Indonesia. Upaya-upaya guna meningkatkan partisipasi milenial pada Pemilu 2019 nanti layak diapresiasi.
Komisioner KPU 2007-2012 ini berpendapat, banyak kaum milenial yang memandang pemilu di Indonesia ini tidak keren, kuno dan berfikir seharusnya bisa lebih canggih dengan memanfaatkan IT. Alhasil mereka enggan terlibat aktif dalam pemilu.
"Padahal untuk menuju sistem Pemilu yang canggih harus berproses, diawali dengan partisipasi yang tinggi sehingga mutu demokrasi meningkat dan pemerintahan yang dihasilkan memiliki legitimasi kuat," kata dia.