REPUBLIKA.CO.ID, CARACAS -- Majelis Nasional Venezuela yang dikendalikan oleh oposisi menunjuk dewan direktur ad-hoc untuk perusahaan kimia negara Pequiven. Hal ini merupakan sebuah langkah yang bertujuan agar pemimpin oposisi Juan Guaido mendapatkan kendali atas aset negara di luar negeri.
Penunjukan dewan direksi tersebut memungkinkan sekutu Guaido memasukkan dewan direksi ke Monomeros, yakni sebuah perusahaan kimia Kolombia yang dimiliki oleh Pequiven. Langkah ini sama dengan ketika Guaido menunjuk dewan ad-hoc untuk perusahaan minyak negara Petroleos de Venezuela (PDVSA) bulan lalu.
Hal tersebut dapat membuat Guaido menunjuk direktur baru Citgo, yang merupakan anak perusahaan PDVSA dan merupakan aset luar negeri paling penting bagi Venezuela. Majelis Nasional menyatakan, penunjukkan dewan direksi baru ini bertujuan untuk melindungi warisan Bolivarian Republic of Venezuela.
"Pemerintah Maduro telah mengorbankan perusahaan kami di luar negeri," ujar Majelis Nasional dalam pernyataannya, Rabu (20/3).
Hingga berita ini diturunkan, Kementerian Informasi Venezuela tidak segera menanggapi permintaan komentar. Diketahui Pequiven merupakan sebuah unit PDVSA, dan memperoleh saham mayoritas di Monomeros pada 2006 ketika membeli 47 persen saham di perusahaan itu seharga 53,7 juta dolar AS.
Sebelumnya, Guaido mengambil alih kendali atas tiga properti diplomatik negara itu di Amerika Serikat (AS). Utusan pemimpin oposisi, Carlos Vecchio mengatakan, oposisi telah menguasai dua gedung milik kementerian pertahanan Venezuela di Washington dan satu gedung konsuler di New York.
"Kami mengambil langkah ini untuk melestarikan aset Venezuela di negara ini, kata Vecchio, Selasa (19/3).
Vecchio menambahkan, tidak menutup kemungkinan oposisi akan mengambil alih kedutaan Venezuela di Washington. Adapun Vecchio telah melepas foto Presiden Maduro dan menggantinya dengan foto Maduro di gedung-gedung yang telah diambilalih.
Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Venezuela meminta otoritas AS untuk segera mengambil tindakan atas pendudukan paksa tersebut. Kementerian menyebut, pengambilalihan aset secara apksa ini telah melanggar hukum internasional mengenai perlindungan properti diplomatik.