REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu mengecam Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang hendak mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai wilayah Israel. Menurut dia, hal itu jelas melanggar hukum internasional.
"Integritas teritorial negara adalah prinsip paling mendasar dari hukum internasional," kata Cavusoglu melalui akun Twitter pribadinya pada Kamis (21/3), dikutip laman Anadolu Agency. Integritas teritorial yang dimaksud Cavusoglu adalah Dataran Tinggi Golan sebagai milik Suriah.
Ia juga mengkritik klaim Trump bahwa pengakuan Dataran Tinggi Golan akan membawa stabilitas kawasan. "Upaya AS untuk melegitimasi tindakan Israel terhadap hukum internasional hanya akan menyebabkan lebih banyak kekerasan dan rasa sakit di wilayah tersebut. Turki mendukung integritas teritorial Suriah," ujarnya.
Juru bicara Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Ibrahim Kalin, turut memprotes rencana Trump. "Upaya Pemerintah AS untuk melegitimasi tindakan ilegal Israel terhadap Dataran Tinggi Golan tidak berarti apa-apa selain mendukung kebijakan pendudukan Israel dan memperdalam konflik di kawasan itu," kata Kalin.
Trump telah mengutarakan rencananya untuk mengakui Dataran Tinggu Golan sebagai milik Israel. "Setelah 52 tahun, saatnya bagi AS untuk sepenuhnya mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan, yang sangat penting bagi keamanan Negara Israel dan Stabilitas Regional!" ucapnya.
Pada Rabu (20/3), Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendesak AS agar mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari negaranya. Hal itu disampaikan Netanyahu saat Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo berkunjung ke Yerusalem. “Sudah tiba waktunya bagi AS untuk mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan,” kata Netanyahu.
Netanyahu mengatakan pekan lalu dia telah menemukan adanya pekerjaan untuk mendirikan pangkalan militer di sepanjang perbatasan Dataran Tinggi Golan. Pembangunan pangkalan militer itu dilakukan oleh kelompok Hizbullah, yang menurut dia, mendapat dukungan dari Iran.
Atas dasar itu pula dia menilai AS harus segera mengakui Dataran Tinggi Golan sebagai bagian dari Israel. “Saya pikir untuk alasan ini dan lainnya, inilah saatnya AS mengakui kehadiran Israel di Golan, yang secara resmi menjadi milik Israel,” ujar Netanyahu. Menurut laporan Jerusalem Post, Pompeo tak menanggapi desakan Netanyahu.
Dataran Tinggi Golan direbut Israel dari Suriah setelah berakhirnya Perang Arab-Israel pada Juni 1967. Sekitar dua pertiga Dataran Tinggi Golan tetap di bawah kendali Israel setelah Perang Yom Kippur 1973 dan menciptakan zona demiliterisasi antara Suriah dan Israel.
Namun pada 1981, pemerintahan Menachem Begin menerbitkan Golan Heights Law yang secara efektif mencaplok Golan sebagai bagian dari kekuasaan Israel. PBB dan negara-negara besar dunia, termasuk AS, Rusia dan Uni Eropa sampai saat ini menolak mengakui pencaplokan tersebut.
Kendati demikian, sejak Suriah dilanda perang sipil pada 2011, beberapa anggota parlemen AS telah menyerukan Departemen Luar Negeri AS agar mengakui kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan. Tahun lalu, Senator Tom Cotton dan Ted Cruz mengusulkan resolusi yang mendukung pengakuan Golan sebagai wilayah Israel.
Pekan lalu, Departemen Luar Negeri AS, melalui laporan tahunan tentang hak asasi manusia, AS telah mengisyaratkan perubahan kebijakan terhadap Dataran Tinggi Golan. Sebab dalam laporan itu, AS tak lagi menyebut Golan sebagai wilayah yang diduduki, tapi dikontrol Israel.
Laporan tersebut dikritik oleh mantan duta besar AS untuk Israel Martin Indyk. “Suka atau tidak, Dataran Tinggi Golan adalah wilayah Suriah,” kata dia melalui akun Twitter pribadinya.
Menurut dia, mengakui aneksasi Israel atas wilayah yang bukan miliknya berarti bermain dengan api untuk tujuan politik yang partisan. “Tidak ada negara Arab yang akan menerimanya,” ujar Indyk.