Sabtu 23 Mar 2019 09:10 WIB

Harga Minyak Kian Menjauh dari Titik Tertinggi 2019

Kekhawatiran perlambatan ekonomi dan permintaan minyak mendorong penurunan harga.

Kilang dan Harga Minyak: Harga minyak dunia terus merosot.
Foto: Foto : MgRol112
Kilang dan Harga Minyak: Harga minyak dunia terus merosot.

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak mentah turun sekitar dua persen pada akhir perdagangan Jumat (22/3). Harga tergelincir lebih jauh dari tertinggi 2019, karena fokus bergeser ke kurangnya kemajuan dalam pembicaraan perdagangan Amerika Serikat (AS)-Cina dan data manufaktur suram dari Jerman dan AS menyalakan kembali kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan permintaan minyak.

Indeks-indeks utama Wall Street anjlok antara satu hingga dua persen, setelah produsen-produsen di Eropa, Jepang dan Amerika Serikat (AS) menderita pada Maret karena survei menunjukkan ketegangan perdagangan telah mempengaruhi produksi pabrik. Ini menjadi sebuah kemunduran karena harapan ekonomi global akan mengubah sudut pada perlambatannya.

Baca Juga

Minyak mentah berjangka Brent untuk pengiriman Mei turun 0,83 dolar AS atau 1,2 persen, menjadi ditutup pada 67,03 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange, dan turun sekitar 0,2 persen pada minggu ini. Kontrak mencapai level tertinggi empat bulan di 68,69 dolar AS pada Kamis (21/3).

Acuan global minyak mentah Brent telah meningkat lebih dari 20 persen sejak awal Januari Ini disebabkan oleh pemotongan pasokan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, seperti Rusia, dan sanksi-sanksi AS terhadap Iran dan Venezuela.

Sementara itu, minyak mentah AS, West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman Mei turun 0,94 dolar AS atau 1,6 persen, menjadi menetap pada 59,04 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange. WTI mencapai tertinggi 2019 pada Kamis (21/3) di 60,39 dolar AS dan naik 0,8 persen pada minggu ini.

"Data PMI mengecewakan hari ini dari Jerman dan Prancis mendorong kenaikan dolar lebih lanjut, sementara pada saat yang sama menekan selera risiko global," kata Presiden Ritterbusch and Associates, Jim Ritterbusch.

Dolar AS naik terhadap euro pada Jumat (22/3) ke level tertinggi dalam lebih dari sepekan. Dolar AS yang kuat membuat minyak lebih mahal untuk pemegang mata uang lainnya.

"Fakta bahwa faktor-faktor makro ini mampu mengimbangi dampak harga dari laporan bullish EIA yang luar biasa membuktikan kerapuhan pergerakan bull dalam tiga bulan dalam minyak," lanjutnya

Karena pertumbuhan ekonomi melambat di Asia, Eropa, dan Amerika Utara, berpotensi mengurangi konsumsi bahan bakar. Apalagi, tidak ada terobosan yang muncul dalam kebuntuan perdagangan antara Washington dan Beijing, setidaknya sebelum pertemuan yang dijadwalkan pada 28-29 Maret.

"Negosiasi perdagangan dengan Cina mengalami kemajuan dan kesepakatan akhir mungkin akan terjadi," kata Presiden AS Donald Trump dalam sebuah wawancara televisi yang ditayangkan pada Jumat (22/3).

Lompatan lebih dari dua juta barel per hari dalam produksi minyak mentah AS sejak awal 2018 ke rekor 12,1 juta barel per hari telah menjadikan Amerika Serikat sebagai produsen terbesar dunia, di depan Rusia dan Arab Saudi. Hal ini mengakibatkan peningkatan ekspor, yang naik dua kali lipat dari tahun lalu menjadi lebih dari 3 juta barel per hari. Badan Energi Internasional memperkirakan bahwa Amerika Serikat akan menjadi pengekspor minyak mentah bersih pada 2021.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement