Senin 25 Mar 2019 13:24 WIB

PBB: Bangladesh tak Bisa Sendiri Urus Rohingya

PBB mendesak Myanmar memulangkan warga Muslim Rohingya ke negaranya.

Rep: Fergi Nadira/ Red: Nur Aini
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).
Foto: Nyunt Win/EPA EFE
Muslim Rohingya tiba di Desa Thae Chaung, Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Rabu (21/11).

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Kantor berita Bangladesh, Sangbad Sangstha mengatakan, bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meminta para pemimpin dunia mendesak Myanmar memulangkan Muslim Rohingya dari tempat mereka melarikan diri Bangladesh.

Penasehat Khusus PBB untuk pencegahan genosida, Adama Dieng mengatakan, pemimpin negara harus membantu mendesak Myanmar mengembalikan warganya yang melarikan diri ke negara tetangganya. Sebab, Bangladesh tidak mampu menangani pengungsi hanya sendiri.

Baca Juga

"Bangladesh tidak dapat menyelesaikan masalah (Rohingya) sendirian, dan masyarakat internasional harus meningkatkan tekanan pada Myanmar untuk menyelesaikannya," ujar Dieng seperti dikutip Anadolu Agency, Senin (25/3).

Dieng pada Ahad (24/3) waktu setempat melakukan kunjungan kehormatan dengan Perdana Menteri Menteri Sheikh Hasina di kantornya. Dieng menekankan perlunya repatriasi Rohingya yang damai bermartabat dan aman untuk solusi permanen bagi krisis.

"PBB ingin repatriasi Rohingya ke tanah air mereka di negara bagian Rakhine, dan masyarakat yang damai dan inklusif dibangun di sana," katanya.

Dieng mewakili PBB juga turut memuji kontribusi Bangladesh dalam memberikan perlindungan kepada lebih dari jutaan pengungsi Rohingya. "Anda telah membuka pintu secara luas untuk Rohingya," ujar Dieng.

Hasina juga menekankan tekanan untuk melindungi para pengungsi di negaranya, ketika Rohingya di kota Cox's Bazar melebihi jumlah penduduk setempat. "Masyarakat lokal sangat menderita, masyarakat internasional harus berbuat lebih banyak," kata Hasina.

Hasina mengatakan, pemerintah Bangladesh kini tengah mengurus sebuah pulau bernama Bhashanchar untuk melindungi Rohingya, meskipun pengamat internasional telah memperingatkan bahwa pulau itu rawan bencana alam. Mereka juga mendesak agar Rohingya diizinkan untuk pindah ke sana atas dasar sukarela dan dengan pengungkapan penuh tentang pulau itu.

Rohingya oleh PBB dikatakan sebagai etnis yang paling teraniaya di dunia. Rohingya menghadapi ketakutan yang meningkat terhadap serangan sejak belasan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada 2012. Menurut Amnesty International, lebih dari 750 ribu pengungsi Rohingya, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan penumpasan terhadap komunitas Muslim minoritas pada Agustus 2017.

Laporan oleh Ontario International Development Agency (OIDA) mencatat sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Muslim Rohingya telah terbunuh oleh pasukan negara Myanmar. Sementara lebih dari 34 ribu orang Rohingya dibakar, sementara lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli. Laporan OIDA itu terangkum dalam laporan berjudul "Migrasi Paksa Rohingya: Pengalaman yang tak Terungkap."

Sekitar 18 ribu perempuan dan anak perempuan Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar, dan lebih dari 115 ribu rumah Rohingya dibakar dan 113 ribu lainnya dirusak.

PBB juga telah mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan, termasuk bayi dan anak kecil, serta pembantaian brutal dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam sebuah laporan pula, penyelidik PBB mengatakan, pelanggaran seperti itu mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan niat genosida.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement