REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum tersangka kasus perusakan barang bukti pengaturan skor sepak bola, Joko Driyono (Jokdri), masih menyiapkan langkah untuk melayangkan permohonan penangguhan penahanan. Sebelumnya, Jokdri telah resmi ditahan di rumah tahanan (rutan) Polda Metro Jaya 20 hari ke depan mulai 25 Maret hingga 13 April 2019.
Kendati demikian, kuasa hukum Joko Driyono, Andru Bimaseta, belum bisa memastikan kapan permohonan penangguhan penahanan ini akan dilayangkan ke penyidik Satgas Antimafia Bola. Ia juga belum bisa memastikan siapa penjamin yang akan disertakan dalam permohonan penangguhan penahanan tersebut.
Namun, Andru menyatakan, kemungkinan penjamin yang akan disiapkan adalah dari pihak keluarga Jokdri. "Harus komunikasi dulu, banyaklah yang harus dilakukan," ujar dia, di Jakarta.
Andru menambahkan, kondisi Jokdri terpukul atas penahanan tersebut. Namun, ia memastikan Jokdri menerima keputusan untuk menahan dirinya. "Betul (syok), tapi paling tidak dia menerima penahanannya," ucap dia.
Ia menilai, tidak sepatutnya eks plt ketua umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) itu ditahan. Sebab, Jokdri tidak mungkin melarikan diri karena sudah dicekal di Imigrasi. Kedua, ia tak mungkin mengulangi tindak pidana karena semua barang bukti sudah dilakukan penyitaan. Hal serupa dengan merusak barang bukti karena semuanya juga sudah dalam pengawasan polisi. "Itulah, kami pikir tidak seharusnya dilakukan penahanan karena sepengetahuan kami objektifnya juga tidak terpenuhi," ujarnya.
Meski begitu, lanjut Andru, pihaknya menghormati apa pun yang dilakukan oleh Satgas Antimafia Bola. Menurut dia, satgas bekerja secara profesional. "Ya, Pak Joko prinsipnya tetap kooperatif. Artinya, tetap mengikuti prosedur dan menyerahkan seluruhnya ke kuasa hukum seperti itu," kata Andru.
Anggota Komite Eksekutif PSSI Gusti Randa menegaskan, roda organisasi PSSI akan tetap berjalan meski Jokdri ditahan. Dia mengatakan, pihaknya menghormati proses hukum yang berlaku. "PSSI tetap menjalankan roda organisasi sesuai dengan putusan kongres pada Januari di Bali," ujar Gusti kepada Republika, kemarin.
Menurut dia, tidak ada perbedaan signifikan dalam roda organisasi PSSI pascapenahanan Jokdri. Bedanya, kata dia, komunikasi yang biasanya harus melewati Jokdri kini langsung melalui dirinya dan Sekjen PSSI, Ratu Tisha. "Selama ini komunikasi yang dibangun itu melalui Pak JD (Joko Driyono), sekarang tentu harus melewati saya dan sekjen, dalam rangka melaksanakan tugas kesehari-harian, tidak ada masalah," kata dia menambahkan.
Lebih lanjut, Gusti mengaku saat ini pihaknya sedang menyiapkan road map kongres luar biasa (KLB) yang sudah diputuskan melalui rapat Exco untuk mencari kepengurusan secara definitif. Selain itu, dia mengatakan, PSSI juga fokus pada tanggung jawabnya untuk menyelenggarakan kompetisi-kompetisi sepak bola. "Kalau untuk kegiatan sepak bola sendiri, bagaimana menyelesaikan Piala Presiden sampai akhir, terus Piala Indonesia dan memastikan Liga 1 bergulir pada 8 Mei," tuturnya.
Gusti yang juga Ketua Komite Hukum PSSI menambahkan, PSSI berkomitmen untuk membersihkan PSSI dari masalah mafia bola. "Komitmen saya pribadi hal-hal yang bersifat melanggar aturan kita hilangkan, zero tolerant-lah," ujarnya.
Jokdri ditetapkan sebagai tersangka karena diduga merupakan aktor intelektual yang memerintahkan tiga orang, yaitu Muhammad MM alias Dani, Mus Muliadi alias Mus, dan Abdul Gofar untuk melakukan perusakan barang bukti di kantor Komisi Disiplin PSSI yang sempat digeledah Satgas Antimafia Bola beberapa waktu lalu. Jokdri memerintahkan ketiganya masuk ke ruangan yang telah diberi garis polisi dan melakukan perusakan barang bukti serta mengambil laptop yang diduga penyidik terkait kasus dugaan pengaturan skor.
Setelah lima kali menjalani pemeriksaan dengan status sebagai tersangka, Jokdri kemudian ditahan dengan dikenakan Pasal 363 KUHP terkait pencurian dan pemberatan serta Pasal 232 tentang perusakan pemberitahuan dan penyegelan, Pasal 233 tentang perusakan barang bukti, dan Pasal 235 KUHP terkait perintah palsu untuk melakukan tindak pidana yang disebutkan di Pasal 232 dan Pasal 233. Serta Pasal 221 jo 55 KUHP dengan ancaman hukuman penjara tujuh tahun.