Jumat 29 Mar 2019 10:57 WIB

Filipina Kembali Tangkap Pemimpin Redaksi Media Rappler

Rappler kerap mengkritisi kebijakan Duterte.

Red: Nur Aini
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.
Foto: Bullit Marquez/AP
Pemimpin redaksi Rappler, situs berita Filipina yang kritis terhadap pemerintahah, Maria Ressa, ditangkap.

REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Maria Ressa, pemimpin redaksi media daring yang dikenal dengan laporan-laporan kritis tentang Presiden Filipina Rodrigo Duterte, kembali ditangkap di bandar udara Manila pada Jumat (29/3).

Kali ini, ia ditangkap atas tuduhan melanggar peraturan yang melarang kepemilikan media oleh orang asing. "Saya diperlakukan seperti penjahat, padahal yang saya lakukan hanyalah menjadi wartawan yang merdeka, " kata Maria Ressa, pimpinan media peraih penghargaan, Rappler, kepada saluran berita ABS-CBN saat dia dibawa oleh polisi.

Baca Juga

Ressa sedang menjalani masa bebas dengan jaminan untuk kasus fitnah lain bulan lalu dan sempat menginap satu malam di tahanan sebelum dibebaskan dengan jaminan. Tindakan hukum terhadap Ressa menarik perhatian luas dari berbagai kalangan, yang mengkhawatirkan kebebasan dan keterbukaan pers di negara Asia Tenggara itu.

Dia kembali ditangkap hanya beberapa saat setiba di bandara setelah melakukan perjalanan ke luar negeri. Dia mengatakan akan mencari pembebasan penahanan dengan jaminan. "Saya akan mencari surat jaminan karena saat ini saya sedang menjalani masa jaminan," kata Ressa sambil diarahkan menjauh oleh tiga orang polisi.

Jaksa penuntut mengajukan tuduhan terbaru terhadapnya para Rabu pada saat dia berada di luar negeri. Undang-undang di Filipina melarang kepemilikan media massa oleh pihak asing, namun Rappler mengatakan bahwa orang-orang asing yang menanamkan modalnya di Penerimaan Penyimpanan Filipina tidak ikut campur dalam pengoperasiannya.

Pengawas media mengatakan bahwa tuntutan terhadap Ressa mengada-ada dan ditujukan untuk mengintimidasi mereka yang melawan aturan Duterte, khususnya mengenai penggerebekan jaringan narkoba dengan cara mematikan. "Kasus peradilan tersebut belum pernah terjadi dan menunjukkan suara kebulatan tekat pemerintah Duterte untuk menutup laman media yang dipercaya dan konsisten melaporkan tentang pemerintahan, khususnya perang narkoba dan pembunuhan tanpa peradilan terhadap para tersangka jaringan narkoba dan warga sipil," kata Pemantau Hak Asasi Manusia.

Duterte tidak menyembunyikan kejengkelannya terhadap Rappler dan sering berdebat dengan wartawan-wartawan media tersebut, yang dikenal antara lain karena kerap mencermati kebijakan-kebijakan serta mempertanyakan keakuratan pelaksanaan razia yang digariskan Duterte. Seorang juru bicara dari kepolisian mengatakan para petugas hanya menjalankan perintah pengadilan saat menangkap Ressa. "Tidak ada yang berat sebelah, setiap kami mendapat tugas melalui surat perintah penahanan dari pengadilan, maka kami melaksanakannya," kata juru bicara Bernard Banac kepada ANC News.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement