REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter dan penjelajah abad ke-13, Abdul Latif al-Baghdadi, yang juga mengajar di Damaskus menceritakan sebuah kisah tentang seorang pemuda Persia pintar yang begitu tergoda oleh makanan dan layanan yang sangat baik di rumah sakit Nuri, sehingga pemuda itu pun pura-pura sakit.
Namun, dokter yang memeriksanya mengetahui maksud buruk pemuda itu setelah memberikan makanan selama tiga hari. Pada hari keempat dokter pun menemui pasiennya dan menyuruh pemuda itu pulang. "Tradisi keramahan Arab berlangsung selama tiga hari. Silakan pulang sekarang!" kata dokter itu.
Kualitas pelayanan di rumah sakit Islam sangat dikagumi masyarakat dari berbagai penjuru dunia. Hal itu merujuk pada proses telaah dan perdata, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu al-Okhowa dalam bukunya Ma'bah al-Qurba fi Talab al-Hisba. Menurut al-Okhowa, jika pasien sembuh maka dokter akan memperoleh bayaran.
Namun, jika pasien meninggal, keluarganya bisa langsung menemui kepala dokter dan menyerahkan resep yang ditulis oleh dokter yang merawatnya. Jika kepala dok ter menilai bahwa dokternya telah melakukan pekerjaan yang sempur na tanpa kelalaian, dia akan mengatakan kepada keluarganya bahwa kematian itu wajar.
Namun, jika menilai sebaliknya, kepala dokter akan meminta kepada keluarga tersebut untuk mengambil uang dari dokter yang melakukan kelalaian tersebut. Karena itu, pengobatan di rumah sakit Mus lim hanya boleh dilakukan oleh orangorang yang berpengalaman dan terlatih.
Selain mendirikan rumah sakit permanen, masyarakat di kota-kota Islam juga membuat pusat pertolongan pertama. Fasilitas ini biasanya terletak di tempattempat umum, seperti di masjid-masjid besar. Seperti halnya di Masjid Ibnu Tulun di Mesir, di salah satu ujungnya ada tempat untuk wudhu dan juga apotek sebagai pelengkap.
Apotek itu dilengkapi dengan obat-obatan dan petugas pembantu. Pada hari Jumat, biasanya juga ada seorang dokter yang bertugas di sana, sehingga dia bisa merawat korban saat pelaksanaan shalat Jumat.