REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan menanggapi rencana Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) terkait pencemaran udara. Menurut dia, pencemaran udara di Jakarta merupakan fakta.
"Kami mengapresiasi dan memang ini fakta, bukan opini. Fakta tentang polusi yang itu adalah efek dari pola kita melakukan mobilitas saat ini," kata Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (15/4).
Ia mengatakan, udara yang tercemar dan polusi disebabkan penggunaan kendaraan pribadi yang mendominasi jalanan Ibu Kota. Untuk itu, Anies akan mengupayakan transportasi umum yang menjangkau semua wilayah Jakarta.
Ia melanjutkan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI akan mengadopsi transportasi umum massal dengan energi ramah lingkungan. Salah satunya dengan kendaraan energi berbasis listrik.
"Ke depannya kita berharap nanti justru semua bisa berbasis listrik. Lalu yang ketiga adalah kontrol emisi di kendaraan-kendaraan pribadi," kata Anies.
Menurut dia, mengenai pengawasan terhadap emisi kendaraan pribadi, Pemprov sedang menyiapkan regulasi. Anies menyebut, jaringan regulasi itu akan rampung pada 2020 mendatang.
"Ini nanti kita sedang siapkan regulasi networknya, harapannya di 2020 kita bisa lakukan untuk semua. Kira-kira arahnya seperti itu, dengan demikian maka ini bisa kita bereskan dengan lebih baik," kata dia.
Selain itu, Anies mengatakan, udara kotor di Jakarta juga diakibatkan oleh warga itu sendiri. Sehingga, ia meminta seluruh pihak terlibat mengatasi masalah pencemaran udara di kota metropolitan ini.
"Jadi, ini adalah kerja bersama melibatkan seluruh masyarakat, karena udara kotor ini adalah udara yang kita kotori sama-sama," ujarnya.
Ia mengatakan, telah memasukkan isu permasalahan udara Jakarta dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Di sisi lain, ia tak mempermasalahkan gugatan tersebut. Menurut dia, setiap warga negara memiliki hak menggunakan jalur hukum.
Sebelumnya, LBH Jakarta dan YLBHI membuka pos pengaduan calon penggugat dalam rangka pengajuan gugatan warga negara terkait pencemaran udara di Jakarta. Sebab, pencemaran udara di Jakarta dinilai sudah melewati ambang batas.
"Pos pengaduan akan dibuka selama satu bulan terhitung sejak 14 April 2019 sampai 14 Mei 2019," kata Kepala Bidang Perkotaan dan Masyarakat Urban LBH Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora.
Pembukaan pos pengaduan ini diharapkan agar setiap warga Jakarta atau warga di luar Jakarta berperan dalam upaya perbaikan kualitas udara. Salah satu polutan paling berbahaya yang menjadi ancaman udara Jakarta yakni Particulate Matter (PM) 2,5.
Data resmi yang dirilis oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan angka rata rata tahunan PM 2,5 sudah melebihi ambang batas baku mutu udara ambien. Data rata-rata tahunan PM 2,5 menunjukkan angka 34,57 ug/m3 yang artinya sudah melebihi dua kali lipat baku mutu udara ambien nasional (15 ug/m3).
Pada dokumen KLHK yang sama menyebutkan, pada 2018 dari satu stasiun pantau yang terletak di Gelora Bung Karno (GBK), menunjukkan ada 196 hari tidak sehat. Dampak kesehatan atas pencemaran udara khususnya PM 2,5 yang tersebut.
Berbagai macam penyakit itu mulai dari infeksi saluran pernapasan (ISPA), jantung, paru-paru, risiko kematian dini, sampai kanker. Hal itu karena senyawa-senyawa yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) DKI Jakarta Tubagus Soleh Ahmadi mengatakan, selama ini belum ada aturan mengenai sumber emisi yang menyebabkan polusi udara. "Harus ada peraturannya. Peraturannya bukan hanya di Jakarta, udara ini kan ada dua peraturan ya. Di pusat ini terlalu longgar," kata Tubagus.
Padahal, kata Tubagus, emisi yang mencemari udara tak hanya berasal dari kendaraan melainkan juga kegiatan industri. Sedangkan, menurut dia, belum ada peraturan yang membatasi pelaku industri agar tidak menyumbang polusi bagi udara Jakarta.
Menurut dia, Anies tak bisa hanya menunggu masyarakat beralih menggunakan transportasi umum dari kendaraan pribadinya. Di samping itu, harus ada upaya yang signifikan menurunkan angka polusi udara di Ibu Kota.
"Industri-industri maupun juga kendaraan bermotor yang bergerak, itu kan faktor terjadi. Itu belum ada mengatur bagaimana mengatur itu, diselang hanya membatasi dari sisi transportasi saja itu kan tidak cukup," ujar Tubagus.