REPUBLIKA.CO.ID, Udara bersih menjadi hak semua orang. Namun, nyatanya belum semua orang, khususnya warga DKI Jakarta, merasakan udara bersih tersebut.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) bulan ini mulai membuka pos pengaduan secara daring terkait pencemaran udara Jakarta.
Pos pengaduan ini ditujukan kepada masyarakat umum yang ingin mengajukan gugatan warga negara (citizen lawsuit) atas pencemaran udara Jakarta yang sudah di ambang batas. Pos pengaduan sudah dibuka sejak Ahad (14/4) lalu.
Sebelumnya, laporan indeks pencemaran udara ini sudah dipublikasikan oleh Greenpeace bekerja sama dengan Air Visual IQ Air. Dari laporan itu, Jakarta menempati posisi pertama sebagai kota paling tercemar di dunia. Dilaporkan rata-rata kualitas harian di Jakarta pada 2018 dengan indikator 2,5 PM adalah 34,57 mikrogram per meter kubik udara.
Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu mengungkapkan angka itu sudah melebihi ambang batas yang sudah ditetapkan oleh pemerintah, yakni 15 mikrogram per meter kubik. Sedangkan jika menurut peraturan WHO, kondisi udara ini tiga kali lipat dari ambang batas yang ditetapkan yaitu 10 mikrogram per meter kubik.
Pencemaran udara ini mayoritas disebabkan oleh pembangkit listrik tenaga batu bara serta pelaku industri bertenaga batu bara yang banyak terdapat di Jakarta Timur dan Jakarta Utara. Permasalahan udara ini rupanya sudah menjadi hal umum di kalangan masyarakat luas.
Salah seorang warga, Lauren, menuturkan, isu polusi udara di Jakarta sudah sering ia dengar sejak dulu. Menurut dia, polusi udara sudah seperti bagian dari kehidupan sehari-hari. “Ya sudah tahulah, dari media sosial juga sudah banyak yang bahas isu ini, enggak cuma di Jakarta,” kata pria yang bermukim di Bekasi ini, Selasa (16/4).
Lauren menuturkan, mengatasi permasalahan polusi udara semestinya tidak hanya menjadi pekerjaan pemerintah, tetapi juga masyarakat luas. Menurut dia, masyarakat pun bisa berpartisipasi, walaupun kecil seperti menggunakan transportasi umum untuk bepergian. Ia menambahkan, fasilitas transportasi umum yang telah ada saat ini sudah baik.
“Tinggal gimana orangnya saja, selama ini satu orang pakai satu mobil. Gimana mau bersih udara kita,” ujarnya.
Ia yang pengguna setia kereta komuter untuk bepergian ke Jakarta ini pun mengaku pasrah dengan kondisi udara Ibu Kota. “Ya paling sehari-hari pakai masker yang banyak dijual itu saja,” kata dia menambahkan.
Sementara itu, Lauren mengaku belum mendengar mengenai adanya pos pengaduan bagi warga untuk mengajukan gugatan atas polusi udara Jakarta. Menurut dia, hal itu adalah suatu jalan yang baik untuk menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintah.
Tanggapan berbeda pun muncul dari pengemudi ojek daring. Pasalnya, selama ini kendaraan bermotor kerap disalahkan dalam menyumbang polusi Ibu Kota. Suwignyo, salah seorang pengemudi ojek daring, justru melihat dirinya dan rekan-rekan sesama pengemudi membantu mobilisasi orang yang menggunakan transportasi umum.
“Tiap hari orderan saya itu kebanyakan nganter orang dari atau ke stasiun,” klaim Suwignyo.
Ia menilai, keberadaan ojek daring yang mendorong orang ikut beralih ke transportasi umum seperti KRL dan bus Transjakarta. “Masak orang dari stasiun ke kantor jalan kaki? Kan jauh, pake ojek enak, tinggal duduk enggak pakai nyetir sudah nyampe,” katanya.
Pria yang sehari-hari mulai bekerja sejak pagi untuk mengangkut penumpang itu tidak setuju apabila motor dijadikan kambing hitam atas persoalan polusi udara. Menurut dia, semua kendaraan, apa pun jenisnya, tetap ikut menyumbang polusi udara Ibu Kota.
Sementara itu, Greenpeace Indonesia mencatat, pada 2018, ada 196 hari kualitas udara Ibu Kota masuk golongan tidak sehat. Sepanjang tahun lalu, hanya ada 34 hari Jakarta mengalami udara baik dan 122 hari kualitas udara masuk golongan sedang.
Data itu diambil dari dari stasiun pemantau udara yang ada di Gelora Bung Karno, Jakarta. Dampak dari kualitas udara ini pun membahayakan kesehatan, khususnya bagi kesehatan pernapasan karena dapat menyebabkan infeksi paru-paru hingga kanker paru-paru.
Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan juga mendukung dan mengapresiasi gugatan tersebut. Menurut dia, polusi udara yang buruk di Jakarta adalah fakta yang tidak bisa dihindari dan merupakan dampak mobilitas warga sehari-hari.