REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Senator Amerika Serikat (AS) Bernie Sanders menyebut pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu rasialis. Pernyataan itu terlontar saat Sanders menanggapi pertanyaan tentang bagaimana ia akan mempertahankan hubungan yang kuat antara AS dan Israel meskipun terdapat kritik.
Sanders menyatakan bahwa dia tidak anti terhadap Israel. Sebab beberapa anggota keluarganya juga ada yang tinggal di negara tersebut. “Tapi kenyataannya adalah Netanyahu adalah politisi sayap kanan dan saya pikir dia memperlakukan rakyat Palestina dengan tidak adil,” kata dia, diaporkan laman Jerusalem Post, Selasa (23/4).
Dia mengatakan bahwa AS mengucurkan bantuan militer miliaran dolar kepada Israel. Namun dia yakin hal tersebut tak terlalu ekstrem. Kendati demikian, AS harus berurusan dengan Timur Tengah dengan cara yang berbeda.
“Dengan kata lain, tujuannya adalah untuk mencoba menyatukan orang dan tidak hanya mendukung satu negara, yang dijalankan oleh pemerintah sayap kanan rasialis,” kata Sanders merujuk kepada pemerintahan Netanyahu.
Dia menegaskan bahwa Israel memiliki hak untuk hidup dalam damai dan keamanan serta tidak menjadi sasaran serangan. “Tapi AS tidak hanya harus berurusan dengan Israel, tapi juga dengan Palestina,” ujarnya.
AS diketahui telah berencana merilis rencana perdamaian Timur Tengah, termasuk Israel-Palestina, tahun ini. Rencana yang dikenal dengan istilah “Deal of the Centruy” itu diduga lebih mengutamakan tentang keamanan Israel.
Menurut laporan yang terbitkan Washington Post, mengutip keterangan beberapa pejabat, rencana perdamaian Timur Tengah itu tidak mencantumkan tentang kemerdekaan Palestina. AS hanya akan memberi perhatian kepada pengungsi Palestina dan berinvestasi serta memberi sumbangan senilai puluhan miliar dolar AS untuk Tepi Barat, termasuk Jalur Gaza.
Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh telah menegaskan tidak akan menerima rencana perdamaian AS jika tak memenuhi tuntutan negaranya. Dalam hal ini, Palestina harus diakui kemerdekaan dan kedaulatannya berdasarkan perbatasan 1967.
Shtayyeh mengatakan bahwa setelah semua dukungan yang diberikan AS kepada Israel, terutama pengakuan sepihak atas Yerusalem, tak ada yang tersisa untuk dinegosiasikan. Dia menegaskan akan menolak setiap proposal perdamaian yang mengabaikan tuntutan utama Palestina.
“Di mana kita akan memiliki negara Palestina? Kita tidak mencari entitas, kita mencari sebuah negara yang berdaulat,” kata Shtayyeh, dikutip laman the Times of Israel, Rabu (17/4).
Dia mengatakan Palestina tidak berminat pada penyelesaian konflik melalui jalur ekonomi. “Palestina tidak tertarik dalam perdamaian ekonomi. Kita tertarik pada penghentian pendudukan (Israel). Hidup tak bisa dinikmati di bawah pendudukan,” ujarnya.