REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Alih fungsi lahan pertanian menjadi salah satu ancaman bagi area persawahan subak di Bali, khususnya sawah dengan sistem subak yang telah menjadi Warisan Dunia. Menurut Dekan Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Nyoman Rai, masyarakat dianggap lebih mementingkan urusan ekonomi.
Maka tak heran masyarakat membiarkan lahannya beralih fungsi menjadi penginapan atau rumah makan bagi para pelancong. Padahal kawasan tersebut masih dalam area warisan dunia.
"Penetapan subak sebagai Warisan Dunia merupakan hal yang positif. Subak mendapat perhatian luar biasa dari pelancong. Pelancong yang semakin banyak ternyata menyebabkan ada alih lahan subak untuk dijadikan sebagai sarana dan prasarana pariwisata," katanya saat ditemui di Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Ditetapkannya subak sebagai warisan dunia juga telah mendatangkan keuntungan bagi warga sekitar. Akan tetapi dia melihat seperti subak di Jatiluwih, pemerataan ekonomi tidak terjadi. Padahal di subak Jatiluwih didukung 19 subak lain namun masyarakat di subak penyangga tidak mendapatkan manfaat yang sama.
"Akibatnya terjadi semacan ketidakharmonisan antara petani subak yang satu dengan yang lain, antara subak warisan dunia dengan yang bukan warisan dunia," kata dia.
Tak hanya itu, wisatawan yang datang juga telah mengotori saluran air irigasi dengan sampah plastik. Akibatnya saat musim kemarau sampah mengendap di saluran dan di musim hujan sampah itu terbawa hingga ke sawah.
Untuk mengatasi hal tersebut, dia menyarankan petani tetap memperhatikan konservasi sumber daya alam dan prinsip Tri Hita Karana. "Para petani harus tetap memperhatikan keselarasan manusia dengan Tuhannya, dengan lingkungannya, dan dengan sesamanya," kata Nyoman Rai.
Dia juga meminta paguyuban subak untuk dapat berbagi. Misalnya Subak Jatiluwih yang kini tengah menjadi poros wisata harus dapat berbagi dengan subak-subak penyangganya. Ia meminta pemerintah daerah setempat mengeluarkan larangan alih fungsi lahan.
Sistem Subak merupakan bagian dari sistem pertanian tradisional. Bentang lahan subak yang telah bertahan sejak berabad silam adalah wujud warisan budaya yang senantiasa hidup di Pulau Bali.
Tri Hita Karana sebagai falsafah hidup yang dianut oleh masyarakat Bali adalah wujud tradisi budaya yang telah mendapat perhatian dunia, khususnya dalam menjaga keseimbangan hidup antara manusia, lingkungan alam, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.