REPUBLIKA.CO.ID, Pada Rabu (24/4), Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui Perumda Pasar Jaya melangsungkan peletakan batu pertama yang menandai dimulainya pembangunan tempat penampungan sementara (TPS) pedagang Pasar Tanah Abang Blok G, Jakarta Pusat. Pembangunan TPS itu akhirnya terwujud setelah sempat tertunda dan mengalami kendala beberapa kali terkait lokasi TPS.
Setelah melalui diskusi panjang dengan pedagang, disepakati TPS didirikan di bagian depan dan belakang Blok G. Apabila sudah jadi, TPS itu akan digunakan sebagai tempat pedagang berdagang sembari menunggu revitalisasi Blok G Tanah Abang.
Sementara itu, di selatan Jakarta, tepatnya di pasar tradisional Pasar Minggu, telah berdiri bangunan TPS yang menunggu digunakan. Bangunan dengan dominasi cat warna jingga dan hijau itu seharusnya untuk tempat penampungan sementara bagi para pedagang Pasar Minggu selama proses revitalisasi berjalan.
Gedung tersebut terletak di bagian belakang pasar. Letaknya memisahkan area Terminal Pasar Minggu dengan lokasi binaan (lokbin) pedagang buah Pasar Minggu. Namun, sejak selesai dibangun pada tahun 2018 hingga kini, lokasi TPS itu masih belum berfungsi.
Belum ada pedagang yang dipindahkan ke gedung tersebut. Mereka masih bertahan dengan kios-kios di dalam bangunan Pasar Minggu. Padahal, bangunan Pasar Minggu sendiri saat ini kondisinya memprihatinkan.
Ditemukan beberapa genangan di dalam pasar sebagai akibat atap yang bocor. Apalagi sehari sebelumnya, hujan deras mengguyur wilayah Jakarta dan sekitarnya sejak siang hingga sore.
Bangunan TPS yang mangkrak itu pun disesalkan para pedagang. Mereka mengaku tidak tahu dengan kelanjutan nasib relokasi ataupun revitalisasi gedung tempat mereka mencari nafkah itu.
“Enggak tahu gimana kelanjutannya,” ujar Ryan, salah seorang pedagang telur yang ditemui Republika, Kamis (25/4).
Pria 23 tahun asal Cilacap itu hanya bisa pasrah dengan nasib tempatnya berjualan. Sebagai pedagang di Pasar Minggu, ia tak bisa berbuat banyak menuntut haknya. Ryan mengaku, hanya bertugas menjaga kios telur milik bosnya. Sementara persoalan relokasi, ia menunggu perintah dari atasannya selaku pemilik kios.
“Saya sih ngikut sajalah kata bos gimana. Disuruh pindah ya pindah, kalau enggak ya sudah,” ujarnya sembari menata dagangan telurnya.
Ia mengeluhkan luas bangunan TPS yang kurang memadai. Ryan menilai, luas TPS tak sepadan dengan jumlah pedagang yang ada. “Ibaratnya jumlah pedagang di sini ada 3.000, tapi kiosnya cuma cukup buat 2.000 pedagang saja,” ujarnya.
Meskipun dinilai tidak memadai, beberapa pedagang masih mengharapkan relokasi segera dilakukan. Pasalnya, beberapa tahun terakhir pedagang mengalami penurunan pemasukan.
Seperti Jajang, pedagang daging sapi segar yang mengeluhkan pembelinya tak sebanyak dulu. Menurut Jajang, pembeli lebih memilih berbelanja ke pedagang yang berjualan di pinggir Jalan Raya Pasar Minggu yang buka sejak tengah malam hingga pagi. “Iya, pada malas masuk ke dalam,” ujar pria keturunan Sunda itu.
Jajang mengaku sudah hampir sepuluh tahun lebih berjualan di Pasar Minggu. Dulu, ia bisa menjual hingga 30 kilogram daging sapi dalam sehari. “Sekarang mah 10 kilo saja sudah syukur,” katanya.
Penurunan penjualan juga dialami Udin. Menurut pengakuannya, pembeli telur-telurnya sudah tidak laris seperti beberapa tahun terakhir. “Sepi sekarang,” kata Udin.
Sementara itu, bangunan TPS Pasar Minggu yang berlantai tiga kini banyak digunakan pengunjung untuk memarkirkan motor mereka, khususnya di lantai dasar yang didesain terbuka. Di sisi selatan gedung, tampak beberapa pedagang mi ayam dan minuman yang memangkal di sana.