REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) melepas ekspor pala organik asal Maluku sebesar 143 ton ke sejumlah negara yakni Belanda, Dubai, dan India. Kementan mencatat, nilai ekspor pala tersebut menyentuh Rp 24,75 miliar dan mengindikasikan potensi pasar pala global untuk Indonesia terbuka luas.
Direktur Jenderal Perkebunan Kasdi Subagyono mengatakan, kualitas pala Indonesia yang berasal dari Maluku sangat diminati dunia. Bahkan, pala yang merupakan salah satu komponen dari rempah-rempah Indonesia tersebut sudah terkenal kualitasnya jauh sebelum Indonesia berdiri. Kini, kata dia, dengan pelepasan ekspor ke sejumlah negara diharapkan dapat memacu semangat petani untuk terus berproduksi.
“Maka untuk menggenjot ekspor biar berkelanjutan, kami akan dukung aspek hulu dan hilirnya,” kata Kasdi saat ditemui Republika.co.id, di Ambon, Selasa (30/4).
Kasdi menjelaskan, di sisi hulu guna memacu ekspor yang berkelanjutan, pihaknya perlu merehabilitasi tanaman tua dengan benih-benih berkualitas. Sedangkan di hilirisasinya, kata dia, pemerintah sedang berupaya menjalankan program penanganan pascapanen, pengolahan, dan pengkarantinaan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 18 Tahun 2018 disebutkan, terdapat konsep klaster ataupun kawasan dengan konsep koorporitasi petanu. Mengacu pada beleid tersebut sebagaimana yang sedang dijalankan, kata dia, terdapat sinergitas kemitraan antara petani dengan pengusaha yang termasuk di dalamnya adalah eksportir.
Dengan adanya hal itu, dia menjamin harga pembelian produk perkebunan maupun pertanian milik petani oleh swasta maupun eksportir dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, pihak swasta harus membeli dengan harga yang sesuai dengan kualitas produk yang dihasilkan petani. Dia mencontohkan, saat ini harga pala yang diekspor berada di kisaran harga yang cukup tinggi.
“Untuk pala nonorganik harganya Rp 125 ribu per kilogram (kg), untuk yang organik harganya Rp 143 ribu-Rp 145 ribu per kg,” kata Kasdi.
Dia menambahkan, dengan adanya peningkatan kualitas produk yang terus diupayakan, pihaknya juga memberikan sosialisasi kepada sektor swasta untuk tidak membeli produk petani dengan harga yang tidak sesuai. Apabila terjadi permainan harga maupun pembelian di harga yang rendah dalam produk berkualitas tinggi, pihaknya berkomitmen akan memberikan teguran hingga sanksi kepada oknum swasta yang melakukan hal tersebut.
Mengacu catatan Direktorat Jenderal Perkebunan, kegiatan pengembangan desa pertanian organik berbasis komoditas perkebunan telah terlaksana di 23 Provinsi pada 155 desa. Adapun desa sasaran delapan komoditas perkebunan yang dikonsumsi segar yaitu kopi, kakao, kelapa, pala, lada, jambu mete, teh, dan aren.
Selanjutnya setiap komoditas perkebunan pada masing-masing desa dan kelompok tani akan disertifikasi. Sertifikat organik yang harus dicapai yaitu sertifikat organik yang berstandar nasional (SNI) serta sertifikat organik ekspor yang disesuaikan dengan negara tujuan atau bertaraf internasional. Salah satu Provinsi pelaksana kegiatan desa organik dan penghasil komoditas pala terbesar di Indonesia yaitu provinsi Maluku.
Kepala Badan Karantina (Barangtan) Kementan Ali Jamil menjelaskan, seluruh pala yang diekspor ke negara-negara tersebut sudah mengantongi dokumen sertifikasi kesehatan yang bertaraf internasional. Dia memastikan, seluruh produk pala yang diekspor tersebut merupakan produk tanaman yang sehat dan memiliki kualitas tinggi.
“Kami sudah serahkan sertifikatnya ke para eksportir untuk mendampingi produk ini melintas ke luar negeri,” kata Ali.
Ali menjelaskan, karantina produk pertanian tak hanya berfokus pada sertifikasi, tetapi juga menyiapkan pendampingan dan bimbingan kepada petani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) untuk dapat meningkatkan kualitas produknya. Menurut dia, upaya ini terus selalu digenjot pemerintah guna mengejar target menjadi lumbung pangan dunia pada 2045.
Adapun langkah ekspor produk pala ini, kata Ali, merupakan salah satu upaya bagi pemerintah untuk melakukan proses feeding atau memenuhi pangan dunia. Saat ini, permintaan pasar global terhadap produk pala diklaim cukup tinggi.
“Ada sekitar 20 negara lebih yang berminat dengan pala Indonesia, tersebar di Asia dan Eropa. Artinya, kualitas produknya sudah terjamin,” kata dia.
Sebagai informasi, berdasarkan catatan Kementan luas lahan perkebunan pala di Indonesia seluas 196. 983 hektare dengan produksi sebesar 32.805 ton dan produktivitas sebesar 441 kg per hektare per tahun pada 2017. Adapun perkebunan pala di Indonesia tersebar dari Kepulauan Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Bali, Sulawesi, Maluku dan Papua.