REPUBLIKA.CO.ID, YANGON — Pasukan keamanan Myanmar menembak mati sedikitnya enam orang di negara bagian Rakhine barat, Kamis (2/5). Peristiwa itu terjadi setelah tentara dan polisi menahan ratusan orang di sebuah sekolah.
“Para prajurit telah mengumpulkan sekitar 275 orang selama pencarian anggota pemberontak Angkatan Darat Arakan,” kata anggota Tim Informasi Berita Militer, Brigadir Jenderal Zaw Min Tun, Kamis (2/5).
Ada berbagai informasi simpang siur tentang peristiwa menjelang penembakan itu. Negara bagian Rakhine adalah daerah terlarang bagi wartawan dan sebagian besar lembaga bantuan asing maupun dalam negeri.
Zaw Min Tun mengatakan beberapa tahanan berusaha menyita senjata pada Kamis (2/5) dini hari. Hal itu memaksa pasukan keamanan melepaskan tembakan pada kerumunan massa.
“Kami memperingatkan mereka secara lisan. Kemudian kami melepaskan tembakan peringatan ke udara untuk membubarkan kelompok, tetapi mereka tidak bergerak, jadi tembakan dilepaskan,” ujar Tun.
Juru bicara militer lainnya, Mayor Jenderal Tun Tun Nyi mengatakan sejumlah penduduk desa masih ditahan di sekolah. Hal itu untuk kepentingan penyelidikan dugaan keterlibatan dengan Tentara Arakan.
Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan Palang Merah Myanmar menyatakan telah memindahkan tiga orang terluka parah ke rumah sakit ibu kota negara bagian, Sittwe. Selain itu, mereka juga memindahkan dua warga sipil lainnya ke rumah sakit setempat.
“ICRC prihatin dengan meningkatnya jumlah korban sipil selama beberapa minggu terakhir, dan mendesak semua pihak berkonflik untuk melindungi populasi sipil sesuai Hukum Humaniter Internasional,” kata Kepala delegasi ICRC di Myanmar, Stephan Sakalian.
Negara bagian Rakhine menjadi perhatian global, setelah sekitar 730 ribu etnis Rohingya Muslim menyeberang ke Bangladesh. Mereka berupaya melarikan diri dari penumpasan militer pada 2017. Penyelidik PBB menyerukan perwira militer senior dituntut atas tuduhan pembunuhan massal, pemerkosaan, dan pembakaran geng. Namun, militer membantah melakukan kesalahan tersebut.
Baru-baru ini, warga sipil terperangkap dalam bentrokan antara militer dan Tentara Arakan, yakni sebuah kelompok pemberontak yang mayoritas adalah populasi etnis Rakhine beragama Budha. Tentara Arakan memperjuangkan otonomi yang lebih besar bagi negara bagian tersebut.
Sejak November, pertempuran itu menggusur hampir 33 ribu orang di sebagian besar negara bagian Rakhine tengah dan utara, dan sebagian negara bagian Chin. Hal itu berdasarkan laporan Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan.
Militer setempat memulai tindakan hukum terhadap dua organisasi warta berita. Mereka menuduh kantor berita itu melakukan fitnah atas laporan yang merinci ihwal dugaan penembakan warga sipil oleh tentara pada Maret.
Zaw Min Tun mengatakan kepada Reuters, militer dan polisi yang melakukan penyelidikan di desa Kyauk Tan, daerah Rathedaung menduga anggota Tentara Arakan menemukan sejumlah orang yang tidak terdaftar dengan pihak berwenang, tinggal di sana. Tentara Arakan mengumpulkan orang-orang itu di sekolah.
Menurut penyelidikan awal, Tun mengatakan, sebanyak enam orang meninggal dunia setelah dugaan pertikaian pukul 02.00 pada Kamis (2/5). Selain enam orang tersebut, Ketua Asosiasi Pengembangan Wilayah Mayu, Maung Soe Win mengatakan sebanyak delapan orang dibawa ke rumah sakit di dekat desa Zedi Pyin dengan luka tembak.
Para korban mengaku telah ditahan selama dua hari. Kemudian, seseorang yang diduga mengalami gangguan mental berteriak, mencoba melarikan diri di tengah malam.
“Kemudian (pasukan keamanan) menembak penduduk desa terus menerus,” kata Win.