Selasa 07 May 2019 19:38 WIB

Pengamat: Tim Hukum Nasional Bisa Peruncing Perbedaan

Pemerintah seharusnya mendorong rekonsiliasi nasional dan persatuan pascapemilu.

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Ratna Puspita
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti dalam diskusi jaringan Masyarakat Anti Korupsi (JaMAK) bertajuk Hak Angket DPR dan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Jakarta, Ahad (7/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti, menilai pembentukan tim hukum nasional sangat tidak bijak jika melihat kondisi politik bangsa saat ini. Menurutnya, pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, tersebut dapat mempertajam perbedaan pendapat di antara masyarakat.

"Menurut saya pernyataan dari Menko seperti itu sangat tidak layak disampaikan dalam konteks kondisi politik kita yang sedang sangat terbelah ini," ujar Bivitri melalui pesan singkat, Selasa (7/5).

Baca Juga

Ia menilai, pernyataan tersebut sangat tidak bijak karena dapat mempertajam perbedaan pendapat antara dua kubu. Kalaupun ada langkah-langkah khusus yang akan dilakukan pemerinta pascapemilu, seharusnya adalah melakukan upaya rekonsiliasi nasional.

"Seharusnya justru untuk mendorong rekonsiliasi nasional, mendorong persatuan," terangnya.

Bivitri juga mengatakan, jika dilihat dari segi hukum, pembentukan tim tersebut tidak tepat. Masalahnya ada pada tim yang dibentuk dan juga sasaran dari dibentuknya tim itu.

Menurut dia, tanpa dibentuk tim yang diisi para pakar pun, aparat penegak hukum sudah sangat terbiasa menegakkan hukum yang terkait dengan pencemaran nama baik dan lain-lain. "Ini kan bukan jenis tindak pidana baru dan juga tidak ada kondisi khusus baru yang membutuhkan penanganan khusus, misalnya terorisme, korupsi," ujar Bivitri.

Ia menuturkan, perangkat hukum yang ada saat ini juga sudah lebih dari cukup. Bahkan, ia menilai, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) saja sudah berlebihan.

Selain itu, terkait pelibatan para pakar dalam tim tersebut, pakar-pakar pidana kerap diundang oleh penyidik. Para pakar juga bisa kemudian memberi keterangan sebagai ahli di dalam sidang.

"Penegakkan hukum mesti dilakukan secara tegas dalam konteks apapun dan terhadap siapapun, bukan hanya dilakukan kepada tokoh dan bukan dalam rangka 'stabilitas' untuk penguasa pascapemilu," katanya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement