REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Properti dari Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghanda, mengatakan, tingkat pembangunan perumahan di Indonesia masih belum mengimbangi kebutuhan rumah penduduk Tanah Air. Ali mengatakan, hal itu disebabkan karena adanya ketimpangan antara kelas rumah yang dibangun dan dibutuhkan.
“Saat ini masih terjadi miss match. Permintaan rumah untuk menengah ke bawah banyak, tapi pengembang condong bangun rumah menengah ke atas,” kata Ali saat dihubungi Republika.co.id, Senin (13/5).
Ali mengatakan, kondisi tersebut terjadi lantaran pihak developer menilai pembangunan rumah untuk kalangan menengah ke atas lebih menguntungkan. Karena itu, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyiapkan program subsidi kredit kepemilikan rumah sebesar lima persen untuk rumah seharga Rp 150 juta ke bawah.
Program itu dikenal sebagai Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP). “Tapi, itu pun masih kurang. Sebab, rata-rata kebutuhan rumah sekarang masih sekitar 600 ribu unit per tahun. Tapi, pembangunan sekitar 350 ribu unit per tahun,” ujar dia.
Beruntung, kata Ali, sektor properti khususnya untuk perumahan kelas menengah ke bawah masih bisa tumbuh. Ia menilai, lewat adanya program FLPP, membuat sektor ini tidak begitu terdampak akibat era suku bunga tinggi yang saat ini tengah dialami Indonesia. Sementara, untuk kalangan kelas menengah terbantukan dengan adanya promo kredit rendah dari perbankan di Indonesia.
Ia menilai, dua hal itu setidaknya membantu pertumbuhan industri properti tetap terjaga. Meskipun. Secara keseluruhan, pertumbuhan properti indonesia cenderung melambat. Ali menggarisbawahi, properti rumah yang saat ini tengah terpukul yakni untuk rumah seharga Rp 1 miliar ke atas.
“Rumah Rp 1 miliar ke atas anjlok sampai 52 persen. Berbeda dengan menengah ke bawah terutama harga Rp 500 juta ke bawah ada kenaikan dua kali lipat,” ujarnya.